Senin, 04 April 2011

PEMBERDAYAAN WAKAF UANG SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN EKONOMI UMAT


A.    PENDAHULUAN

Sejak dekade 70an wacana dan pemikiran untuk melaksanakan pembangunan ekonomi umat sudah mulai ramai dibicarakan dalam berbagai forum, baik dalam bentuk seminar, simposium, diskusi ilmiah, maupun lainnya.[2]  Fenomena ini muncul karena sebagian ahli dan pakar ekonomi pembangunan mulai menyadari bahwa teori dan pendekatan pembangunan ekonomi yang ada diangap tidak dapat mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang adil, merata, dan seksama, sehingga wacana dan pemikiran ini harus terus digulirkan sampai dapat membuahkan hasil yang nyata guna mendobrak kebekuan ekonomi kapitalis.[3]
Memang menjadi keprihatinan tersendiri, negeri dengan mayoritas muslim ini  larut dalam kerlap kapitalisme dalam membangun hari–harinya. Sistem ribawi dijadikan sebagai instrumen pasti dalam perekonomian. Ia dinobatkan sebagai dewa penyelamat dari keterpurukan bangsa. Dengan itu, sugesti sebagai bangsa besar mulai terbangun, meski sesungguhnya sedang melenggang di mulut buaya.[4] Kondisi ini terus berjalan dan merambah di tengah masyarakat, namun dengan kegigihan dan semangat mengobarkan keadilan ekonomi melalui perdebatan, baik di laga seminar, diskusi, maupun loka karya, pada akhirnya menelurkan cetak biru rekonstruksi bangunan ekonomi umat. Cetak biru inilah yang secara cerdas dan strategis diselipkan  Amin  Aziz  untuk dibahas dalam Rapat Kerja Nasional MUI pada tanggal 17–20 Desember 1989. Sekalipun kurang mendapat perhatian, tetapi ini sebagai langkah awal menyibak kelam yang menyelimuti wajah perekonomian Indonesia. Akhirnya di tahun berikutnya 1990 ketika lokakarya MUI kembali digelar tanggal 18–20 Desember, baru membuahkan hasil dengan mengamanatkan pembentukan organisme syari’ah bebas bunga. Seperti diduga sebelumnya, jalan bukan semakin lapang, melainkan justru kian terjal dan mendaki. Sikap skeptis dari beberapa ekonom dan politisi mempertanyakan ide ini.[5]
Mensesneg Moerdiono saat itu yang paling getol mempersoalkan niat membentuk bank Islam ini. Sebagai ‘penjaga gerbang’ istana, Moerdiono banyak mengajukan pertanyaan berharga. Misalnya, kenapa untuk meningkatkan kualitas umat perlu mendirikan bank dengan system baru yang berpotensi menciptakan ‘maslah baru’ ? Apa sebenarnya filosofi dibelakang pendirian bank Islam: Apa betul untuk menghindarkan penganiayaan ? Lalu, bagaimana system tanpa bunga  yang disebut bagi hasil itu bekerja ? Termasuk pertanyaan yang sangat menohok, perlukah MUI memiliki  bank ? Bagaimana dengan pemodalnya ?[6] 
 Sekalipun banyak menuai kritik dari berbagai kalangan, tetapi akhirnya pada tanggal 1 November 1991.  TIM dari MUI telah berhasil mewujudkan “Akte Pendirian PT. BMI”. dimana pada saat penandatanganan waktu itu, telah terkumpul komitmen pembelian saham sebesar Rp. 84 Miliar. Namun pada tahun tersebut BMI masih belum beroperasi, baru pada tahun 1992 BMI mulai operasional.[7]
Dengan lahirnya lembaga keuangan syari’ah yang dimulai oleh BMI ini, akhirnya mendorong di berbagai lembaga keuangan di Indonesia untuk  mengoperasionalkan dengan sistem syari’ah, maka lahir baitul mal wa al–tamwil (BMT), asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah, dan lain sebagainya. Sebagai harapan,  lahirnya lembaga keuangan dan jasa dengan sistem syari’ah ini, mampu memberikan kemajuan dalam pembangunan perekonomian umat Islam di Indonesia, namun ternyata sampai saat ini belum juga bisa membebaskan masyarakat muslim Indonesia terjerat dari lingkaran kemiskinan.
Tentu, yang menjadi masalah bukanlah sistem syari’ahnya melainkan harus dicari solusi untuk memberikan penguatan lembaga tersebut dari aset–aset yang nyata di tengah masyarakat, karena secara kelembagaan lembaga keungan syari’ah hingga saat ini menunjukkan semakin mapan dan menguat. Oleh karena itu, sebagai langkah strategis untuk membangun ekonomi umat adalah memberdayakan lembaga–lembaga Islam yang ada, dan yang paling memungkinkan saat ini guna mendukung lembaga keuangan syari’ah di Indonesia sebagai upaya pembangunan ekonomi umat adalah lembaga wakaf, karena berdasar amanat UU No 41/2004 wakaf diharapkan dapat dikembangkan dan diberdayakan demi kemaslahatan bersama, khususnya pemberdayaan wakaf uang.
B. WAKAF UANG DALAM PANDANGAN ULAMA’
Pembicaraan wakaf uang, sebenarnya telah menjadi perdebatan di kalangan fuqaha’, sekalipun tidak secara eksplisit dikaji secara khusus, namun wakaf uang  masuk dalam ruang kajian  wakaf benda beregerak. Sebagian berpendapat bahwa wakaf dalam bentuk uang/tunai itu adalah diperbolehkan, sementara pendapat yang lain mengatakan tidak diperbolehkan.
Mazdhab Hanafi[8] berpendapat bahwa wakaf uang adalah diperbolehkan sebagai pengecualian karena sudah banyak dilakukan masyarakat, hal demikian berdasarkan hadis  yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dengan redaksi kalimat sebagai berikut: ”Mâ raâhu al-muslimûna hasanan fahuwa ’indallâhi hasanin Wa ma RaAu Sayyian Fahua ’Indallahi Sayyiun”[9] (apa yang dipandang kaum muslimin itu baik, dipandang baik juga oleh Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun juga buru). Mazdhab ini berpendapat bahwa hukum yang diterapkan berdasarkan ’urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan  yang sama dengan hukum  yang diterapkan  berdasarkan nas (teks). Adapun cara mewakafkan uang menurut imam al-Zuhri dari kalangan madzhab  Hanafi adalah dengan cara menjadikan uang itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.[10]
Namun Ibnu Abidin berpendapat  bahwa apabila tradisi masyarakat yang dijadikan sebagai alasan atas kebolehan wakaf uang sebagaimana wakaf  dirham, maka sebenarnya wakaf dirham itu hanya menjadi kebiasaan di masyarakat Romawi, sementara di negara lain tidaklah menjadi tradisi di masyarakat.  Oleh karena itu dia berpendapat  bahwa wakaf uang yang tidak menjadi tradisi di suatu negara hukumnya adalah tidak sah. Sementara Kamal bin Hammam dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa ketidakbolehan mewakafkan harta bergerak seperti mata uang, dinar dan dirham, karena disebabkan mudah musnah sekalipun hal itu bermanfaat.[11] 
Adapun dari kalangan Mazdhab Maliki,[12] belum membuat suatu ketentuan tentang standarisasi apa saja yang menjadikan  wakaf harta bergerak  itu sah atau tidak. Tetapi, mereka memiliki pendapat masing-masing dalam menentukan sah atau tidaknya wakaf harta bergerak itu. Yang jelas mereka semua sepakat  bahwa hukum mewakafkan harta bergerak itu adalah sah apabila jelas bentuknya, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya  mewakafkan harta bergerak yang tidak jelas bentuknya.
Al-Dardiri dari kalangan mereka menyatakan bawa dalam masalah boleh tidaknya wakaf harta  bergerak ini, seperti makanan yang tidak tentu bentuknya dan bentuknya  tidak tampak seperti uang, maka hal itu   telah memunculkan keraguan pendapat. Dikatakan adanya keraguan itu karena bentuknya tidak jelas, tetapi apabila harta itu nyata dan jelas, tidak ada keraguan dan dipandang sah untuk diwakafkan.[13] Dengan demikian, mazhab Maliki  tidak membedakan tentang bolehnya mewakafkan harta, baik harta bergerak maupun tidak bergerak.
Mazhab Syafi’i[14] dan Hanbali membolehkan wakaf harta benda bergerak seperti halnya harta tetap, karena yang menjadi dasar dalam wakaf adalah  asas keabadian. Mazhab Syafi’i menjelaskan hukum sahnya wakaf harta bergerak dari dua landasan:
Pertama, kekekalan adalah standar utama dalam setiap bentuk, maka harta apa saja yang tidak kekal berarti kekekalannya adalah selama benda itu masih ada. Oleh karena itu wakaf akan berahir jika harta bergerak yang telah diwakafkan itu musnah.[15] Sebagai contoh Imam Syairazi [16] berpendapat boleh mewakafkan binatang ternak karena dapat dimanfaatkan selamanya. Kalimat untuk selamanya, menurut ulama’ Syafi’iyah  adalah sesuatu yang nisbi (relatif). Keabadian segala sesuatu  adalah sampai batas keberadaannya dapat dimanfaatkan. Sementara Syarbini al-Khatib menjelaskan bahwa  ”kekekalannya itu cukup  hingga dicabut setelah masa sewa habis atau kembalinya pemberi pinjaman.”[17]
Kedua, wakaf tidak berahir dengan musnahnya harta bergerak, tetapi harus digantikan dengan harta lainnya, dan penggantinya akan menempati  posisi dari harta bergerak yang sudah musnah. Sekalipun pendapat dari mazhab Syafi’i dan Hanbali di atas cenderung membolehkan terhadap benda bergerak, tetapi al-Bakri mengemukakan bahwa pendapat mazhab Syafi’i tentang wakaf benda bergerak khususnya wakaf uang adalah tidak boleh, mengingat dirham dan dinar (uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya.[18]
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa alasan boleh dan tidaknya mewakafkan mata uang berkisar pada apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan masih seperti semula, yakni terpelihara dan dapat menghasilkan  lagi dalam masa lama atau tidak.
Oleh karena itu, menurut perhitungan dan perkiraan ekonomi bahwa wakaf uang dapat dilakukan dengan cara menjadikan sebagai modal  usaha seperti dalam mazhab Hanafi. Cara ini memungkinkan uang (modal) terpelihara seperti dalam sebuah  lembaga  perbankan yang bonafide dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Untuk lebih amannya lagi harus ditopang oleh lembaga penjamin (asuransi syariah) sebagai upaya menghindari kegagalan usaha. Dengan demikian uang yang diwakafkan dapat digantinya, sehingga uangnya tetap masih ada dan tidak lenyap.
C. KONDISI EKONOMI UMAT ISLAM DI INDONESIA
Indonesia merupakan negara terbesar ke empat di dunia setelah negara Cina, India, dan Amerika dengan jumlah penduduk sekitar 234, 7 juta jiwa.[19] Dari jumlah penduduk yang besar tersebut adalah mayoritas umat Islam, bahkan umat Islam Indonesia adalah jumlah terbesar di dunia. Sekalipun umat Islam demikian besar, namun struktur ekonomi Indonesia sangatlah timpang (terjadi kesenjangan) karena basis ekonomi yang strategis masih dimonopoli oleh segelintir golongan (kalangan feodalis tradisional dan masyarakat modern kapitalis) yang tetap menerapkan sistem ekonomi ribawi. Sampai saat ini dua kelompok tersebut masih mewarnai tumbuh kembangnya lalu lintas perekonomian Indonesia.[20]
 Kalangan feodalis tradisionalis menurut Junaidi merupakan kelompok yang mencengkramkan basis ekonominya di daerah pedesaan secara turun temurun, dengan menguasai sebagian besar tanah dan sawah. Pada dasarnya, timbulnya kelompok sosial ini berawal dari persaingan antar satu unit keluarga dengan unit keluarga lainnya, Siapa di antara mereka yang memiliki anggota keluarga lebih banyak dan lebih giat bekerja serta memiliki watak yang lebih nekat, dengan sendirinya akan memiliki kesempatan untuk dapat menguasai pihak lain dalam memperluas tanah pertanian dan lahan di sekitarnya, termasuk produk yang dihasilkan.
Sebaliknya, unit keluarga kecil yang kurang giat bekerja serta cenderung menerima seadanya, sudah barang tentu hanya akan memperoleh pendapatan hasil yang sedikit. Dan lambat laun unit keluarga yang kecil tersebut terus akan berada dalam keadaan seadanya, sehingga akan memaksa untuk melepaskan apa yang dimiliki dan bahkan dirinya sendiri akan menjadi pekerja untuk menggarap pertanian orang lain, karena untuk menutup kebutuhan hidupnya.
Gambaran di atas merupakan kenyataan sosial[21] yang terjadi di sebagian besar nusantara ini, sehingga apa yang disinyalir dengan ketimpangan sosial terus akan bermunculan. Sebagian orang terus membumbung ke atas dengan kekayaan pertanian yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru jatuh ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya. Bagi yang kuat dan tahan dengan nasib ini, akan menetap di pedesaan sebagai pekerja tuan–tuan tanah, demikian sebaliknya, yang tidak kuat cenderung hengkang dari pedesaan dan akan memilih urban ke perkotaan, sekalipun nasib belum tentu memihak kepada dirinya.
Sementara masyarakat modern kapitalis, selalu diuntungkan oleh sistem ekonomi uang di satu pihak dan lembaga perbankan dengan sistem ribawi di pihak lain. Dengan keperkasaan modal dan kekuatan manajemen modern, mereka mampu menciptakan ketergantungan modal dengan upaya mendatangkan untung berlipat ganda tanpa mempedulikan pihak yang merasa dirugikan. Dari keuntungan itu, sebagian untuk dibayarkan  kembali ke bank bersama modal, dan sebagian lainnya untuk dimanfaatkan guna memperluas jaringan usahanya. Dalam hal ini, sudah barang tentu yang diuntungkan adalah orang yang lebih kuat Sumber Daya Manuisianya (SDM) dan modalnya. Sedangkan korbannya adalah mereka yang lemah dari segi SDM dan permodalannya.
Ketimpangan sosial yang disebabkan oleh sistem di atas adalah suatu kenaifan, karenanya harus dilakukan upaya perubahan sosial, yaitu proses yang dilalui oleh masyarakat sehingga menjadi berbeda dengan sebelumnya.  menurut Zanden seperti yang dikutip oleh Roibin bahwa perubahan sosial pada dasarnya adalah perubahan–perubahan mendasar dalam pola budaya, struktur, dan prilaku sosial sepanjang tahun.[22] Kingley Davis dalam hal ini juga mengatakan hal yang sama, bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.[23]
Tidak terlalu gampang memang, untuk mengadakan suatu perubahan di Indonesia karena sangat kompleks persoalan yang terjadi. Masalahnya sekarang adalah, bagaimana dengan kaum d{u’afa  (marginal) yang merupakan mayoritas masyarakat Indonesia dan kebetulan beragama Islam ? sampai saat ini, kondisi ekonominya hampir secara merata berada pada titik yang sangat minimal, kalau tidak mau dikatakn terpuruk dan mengenaskan. Asumsi bahwa hak ekonomi kaum  d{u’afa  telah ditunjang oleh kalangan feodalis  tradisional dan masyarakat modern kapitalis, serta dampak pembangunan yang diperoleh dari hasil pungutan pajak usaha mereka, sejauh ini merupakan asumsi yang kurang dapat dipertanggung jawabkan dan kurang faktual.
Sebuah kenyataan bisa kita lihat, berapa banyak lapangan kerja yang tersedia di negeri ini dan berapa banyak pengangguran yang ada ?. Apalagi negara saat ini mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, lebih–lebih krisis kepercayaan terhadap para pemimpin yang memiliki legal police  terhadap perekonomian bangsa. Sebagai contoh adalah kasus Century yang saat ini lagi hangat dibicarakan oleh pansus di DPR RI juga mengalami tekanan teror antar anggota pansus sendiri, sehingga belum juga menemukan titik terang yang jelas. Ini pasti akan berdampak pada sektor pembangunan ekonomi, dan pada gilirannya akan berdampak pada ekonomi umat yang mayoritas Islam ini.
Apalagi bila kita lihat realitas di tengah masyarakat, banyak ditemukan adanya penggusuran dan pembersihan pedagang kaki lima dengan dalih untuk pembangunan, tersingkirnya pedagang kecil (retail) oleh pesaing modal besar, seperti mini market yang muncul di mana–mana sampai di pedesaan, sementara pedagang kecil tidak dapat mengimbanginya karena kekurangan modal, sehingga  banyak yang gulung tikar. Di pihak lain, munculnya perdagangan bebas yang mulai marak di negeri ini, sehingga produk dalam negeri semakin hari semakin tidak diminati oleh konsumen, akibatnya terjadi pengangguran para pekerja di mana–mana yang hampir boleh dikata semua itu sebagian besar adalah umat Islam.
Lalu apakah kita akan berdiam diri melihat kenyataan bahwa generasi umat Islam menjadi ‘gelandangan’ tetap setia mengulurkan tangan di tengah jalan dan bahkan akan menjadi pemerasan terus menerus dari sistem ekonomi kapitalis, tentu jawabannya adalah tidak, karena banyak sarana yang sebenarnya sudah disediakan dan dirasa mampu meminimalisir kesenjangan ekonomi umat, yaitu dengan memaksimalkan peran lembaga pemberdayaan ekonomi Islam seperti wakaf uang.
Di masa pertumbuhan ekonomi yang sungguh memprihatinkan ini, wakaf uang sesungguhnya memiliki potensi yang sangat besar guna membangun perekonomian umat Islam, disamping instrumen–instrumen lainnya. Jika wakaf uang itu dikelola dengan baik dan diberdayakan secara maksimal berdasarkan asas–asas profesionalitas, kejujuran, dan amanah, maka akan membawa dampak besar dalam pertumbuhan ekonomi umat Islam Indonesia di masa yang akan datang.
D. MODEL PEMBERDAYAAN WAKAF UANG  
Pemberdayaan wakaf dalam bentuk uang ini sesungguhnya telah dikenal sejak dinasti Ut{maniyah dan Bani Mamluk.[24] Namun, pada perkembangan selanjutnya  tidak terdengar lagi penerapan wakaf tunai di negara–negara Islam. Kini wakaf uang mulai didengungkan kembali di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, setelah negara Banglades berhasil menerapkan SWP (Sertifikat Wakaf Tunai) melalui lembaga sosial yang bernama Social Inverstment Bank Limited (SIBL). Dalam praktiknya Sertifikat Wakaf Tunai yang digagas oleh SIBL ini dimaksudkan sebagai instrumen pemberdayaan keluarga kaya dalam memupuk investasi sosial sekaligus mewujudkan kesejahteraan sosial.[25]
Wakaf Tunai (uang) memang membuka peluang yang unik bagi penciptaan investasi di berbagai bidang, baik bidang keagamaan, pendidikan, maupun pelayanan sosial. Uang memiliki tiga fungsi dalam peranannya, yaitu fungsi alat tukar (medium of exchange), fungsi satuan pembukuan (unit of account), dan fungsi penyimpanan nilai (store of value).[26] Atas dasar ini, wakaf uang mungkin bisa dikembangkan melalui fungsinya sebagai store of value.  Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui penukaran Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai tersebut dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda seperti pemeliharaan harta–harta wakaf itu sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat miskin, tetapi nilainya tidak boleh berkurang.
Lantas seperti apa pemberdayaan wakaf uang yang kita inginkan untuk masa yang akan datang, demi mengangkat harkat derajat umat Islam Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi ?. Berikut ini beberapa model pengembangan wakaf uang yang menurut hemat penulis dapat dilakukan, di antaranya adalah sebagai berikut:  
a. Wakaf Investasi langsung,  maksudnya adalah si wakif dapat mewakafkan uangnya kepada lembaga yang mengelola wakaf uang secara langsung dengan tujuan untuk kepentingan kemaslahatan umat. Dalam wakaf ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu (1)  wakaf investasi permanen, dan (2) wakaf investasi berjangka. Untuk investasi  permanen, harta atau uangnya tidak dapat ditarik kembali oleh si wakif karena tujuannya semata–mata untuk masa depan (akhirat). Sementara investasi berjangka, uang yang diserahkan wakif hanya bersifat sementara. Jadi yang diwakafkan adalah hasil investasi yang dikelola atau dikembangkan saja. Dengan demikian, apabila waktu yang ditentukan sudah habis, maka uang dapat ditarik kembali oleh si wakif.
Dalam wakaf berbentuk investasi ini memang banyak mengandung resiko, tetapi tidaklah tepat investasi itu selalu berisiko negatif. Secara umum ada hubungan langsung antara tingkat resiko dan hasil investasi kita. Semakin tinggi resiko, semakin tinggi hasil investasi kita. Oleh karena itu, investasi dalam bentuk apapun juga akan menghadapi berbagai resiko. Yang penting wakaf uang dalam bentuk investasi ini, dana pokok tidak boleh habis untuk dijadikan sebagai usaha pengembangan, minimal harus ditahan 10 % dari dana yang yang wakafkan.
b. wakaf investasi saham, maksudnya adalah si wakif dapat ikut serta menyertakan modalnya pada suatu perseroan terbatas (PT) untuk suatu usaha, kemudian dari hasil keuntungan perusahaan tersebut dibagi dengan pemegang saham sesuai kesepakatan yang dibuat, dan sebagian lainnya dari keuntungan tersebut dijadikan sebagai dana wakaf si wakif guna kepentingan kemaslahatan umat.
c. wakaf investasi permodalan, yaitu wakaf yang dapat dilakukan oleh wakif  untuk menitipkan modal bersama wakif yang lain guna pengembangan usaha mikro yang dikelola oleh UKM melalui lembaga keuangan syari’ah atas rekomendasi nazir. Wakaf dalam bentuk ini hanya bisa dilakukan oleh wakif yang benar–benar untuk mewakafkan hartanya tanpa ditarik kembali. Kemudian dari kumpulan permodalan ini akan digunakan membantu dalam kegiatan yang produktif bagi kelompok usaha menengah ke bawah. Kemudian dari hasil keuntungan pengusaha menengah tersebut dilakukan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan dengan pihak lembaga keuangan atas persetujuan nazir, untuk selanjutnya hasil dari dana wakaf tersebut dijadikan sebagai dana wakaf abadi, sehingga tidak menghilangkan makna wakaf yang berarti menahan, dan wakaf investasi lainnya yang bersifat produktif.
Tiga model di atas, menurut hemat penulis sebagai bentuk wakaf uang yang sangat memungkinkan diaplikasikan di tengah masyarakat. Meskipun demikian, pelaksanaannya harus ditangani secara profesional oleh ahlinya. Mengingat bentuk wakaf uang ini bisa dikatagorikan sebagai dana publik, maka harus ditangani pengelola yang sudah terbiasa mengelola keuangan.
Tidak berlebihan bila penulis mengatakan bahwa yang paling tepat untuk mengelola dana wakaf uang sementara ini adalah lembaga keuangan syariah, karena secara manajerial sudah teruji, baik dalam kaitan dengan kemampuan akses dengan calon wakif (nasabah), kemampuan mengelola dana investasi, kemampuan melakukan administrasi rekening, maupun kemampuan melakukan distribusi hasil investasi. Di samping itu, kredibilitasnya di mata masyarakat sudah mulai mendapat kepercayaan. Meskipun demikian, masyarakat terutama nazir harus tetap mengontrol perjalanan wakaf uang ini, agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaannya.

E.  SIMPULAN
Berdasarkan pada kajian dan perhitungan, baik dari latar belakang, pandangan para ulama’, kondisi ekonomi umat Islam di Indonesia, maupun upaya pemikiran tentang pengembangan wakaf uang dengan segala bentuknya, dapat disimpulkan sebagai beriut:
Peretama, untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia, wakaf uang merupakan aset yang sangat potensial. Selama ini, program pengentasan kemiskinan masih bergantung pada bantuan kredit luar negeri, khususnya dari Bank Dunia. Dan dana ini juga jumlah sangat terbatas. Oleh karena itu,  mencontoh negara–negara yang sudah berhasil memberlakukan sertifikat wakaf tunai adalah sebuah keniscayaan, seperti Negara Banglades, Turki, Qatar, Kuwait, dan lain–lainnya.
Kedua, untuk mengaplikasikan wakaf uang ini, hendaknya Badan Wakaf Indonesia menerbitkan sertifikat wakaf uang  dengan nilai nominal yang tidak besar jumlahnya, setridaknya ada pecahan 10. 000 (sepuluh ribu). Hal ini dimakudkan untuk memberikan partisipasi umat Islam yang tidak memiliki harta yang besar, disamping untuk memperluas jangkauan yang lebih banyak, sehingga jumlah wakif akan lebih besar.
Ketiga, hal yang paling penting dalam melaksanakan wakaf uang ini adalah harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, profesionalitas, jujur, amanah, dan transparansi, serta harus terus dilakukan konrol secara terus menerus oleh masyarakat lebih–lebih nazir yang diberi kewenangan untuk mengelola bersama dengan lembaga keuangan yang ditunjuk.    
Semoga pemikiran sederhana ini, dapat bermanfaat dan sekaligus melengkapi gagasan dan pemikiran sebelumnya yang pernah dilakukan oleh para penulis tentang pengembangan wakaf uang di Indonesia. Akhirnya, kritik dan saran dari tulisan ini sangat kami harapkan untuk memperbaiki tulisan–tulisan yang akan datang.

Wallahu A’lam bi–al Shawab

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Muhadzhab, Mesir: Isa al-Babi al-Hulabi, tth
Abu al-Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqfi al-Nuqud, Beirut: Dar–Ibnu Hazm, tth.), h. 20-21.

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al– Makturīn min al Sahābat, Kairo” Dar al–Kutub, tt.

Ahmad Junaidi, et–al, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta: Dirjen Bimas Islam Depag R.I., 2006

Ahmad Junaidi, et–al, Menuju Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing, 2008

Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, Jilid III, Kairo: Isa Hulabi, tth

Al–Athqalani, Adab al-Syafi’i wa Manāqibuhû, jili I, Kairo: Dar al kutub, tth

Bernard Raho, SVD., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007

Irsyad Lubis, “Prospek Ekonomki Harta Wakaf” dalam Jurnal   Mimbar Hukum dan Peradilan, Jakarta: PPHIMM, 2009

Kamaluddin Muhammad  bin Abdul Wahid al-Siwasi, Fath al-Qadir, Mesir: Musthafa Muhammad, 1356

Muhammad Iqbal, Dinar Solution,Jakarta: Gema Insani, 2008
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, (alih bahasa Ahrul Sani Fathurrahman, cs), Hukum Wakaf Kajian Kontemporer pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Jakarta: Kuwais Mandiri Cahaya Persada, 2003

Muhammad Arafah al-Dasuki, Hasyiyah al-Dasuki ’ala Syarh al-Kabir, Jilid IV, Mesir: Muhammad Ali Shabih, 1934

Muhammad Syukri Salleh, Pembangunan Berteraskan Islam, etaling Jaya: Fakar Bakti Sdn. Bhd., 1987

M. A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai (Sebuah Inovasi InstruennKeuangan Islam), Jakarta: CIBER, 2001

M. Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2005

Pusat Jaringan Penelitian IAIN/STAIN se Indonesia, Pedoman Penyusunan Proposal Penelitian Berbagai Bidang Ilmu, Jakarta: Depag RI., 2003

Roibin, Sosiologi Hukum Islam (telaah sosio historis pemikiran Imam Syafi’i), Malang: UIN Malang Press, 2008

Riawan Amin, The Celestial Management, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2007

Syarbini al-Khatib, Mughni al-muhtaj Syarh al-Minhaj, Jilid III, Mesir: Mustafa al-Babi al-Hulabi, tth.

al–Syekh Imam Asnawi, Tabaqat al-Syafi’iyah, Jilid I, Dar–al Kutub, 1974

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Jilid X, Beirut: Dar al–Fikr, 1997

Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Umat di Dunia Islam, Bandung: Angkasa, 2003




[2] Muhammad Syukri Salleh, Pembangunan Berteraskan Islam, (Petaling Jaya: Fakar Bakti Sdn. Bhd., 1987), 43
[3] Irsyad Lubis, “Prospek Ekonomki Harta Wakaf” dalam Jurnal   Mimbar Hukum dan Peradilan, (Jakarta: PPHIMM, 2009), 94.
[4] Coba renungkan firman Allah dalam Q.S. 2: 275, “Orang–orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gi;a”.
[5] A. Riawan Amin, The Celestial Management, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2007), 44
[6] Ibid, 45
[7] Lihat Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Umat di Dunia Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), 33 
[8] Mazhab Hanafi adalah mazhab yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah, nama lenhkapnya adalah al-Nu’man bin Tsabit bin Zauti Abu Hanifah al-Tamimi al-Kufi, dia adalah Imam besar, pemimpin para ahli fiqh, dan pimpinan sekolah rasional di zamannya. Dia salah satu imam mazhab empat  yang memiliki pendapat yang kuat, baik ucapannya, mulia akhlaknya, dan tekenal sebagai seorang yang dermawan. Dia meninggal di bulan Rajab atau Sya’ban tahun 50 H, ada juga yang mengatakan tahun 150 H. Lihat tarjamah dalam Jawahir al-Muz{īfa, jilid I, hal 26; al-Nujum al-Z{ahirah, jilid 2, hal 12; T{abaqat Sya’rani, jilid I, hal. 45; Tahzhib  al-Tahzhib, jilid X, hal. 499.
[9] Hadit{/at{ar ini berasal dari Abdullah bin Mas’ud r.a., Lihat Musnad Ahmad Ibn Hanbal dalam kitab Musnad al Makt{īrīn min al Sahābat, pada bab Musnad Abdullah bin Mas’ud, 3418
[10] Abu al-Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqfi al-Nuqud (Beirut: Dar Ibnu Hazm, tth.), h. 20-21. atau bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Jilid X, (Beirut: Dar al–Fikr, 1997), 7610
[11] Kamaluddin Muhammad  bin Abdul Wahid al-Siwasi, Fath al-Qadir (Mesir: Musthafa Muhammad, 1356), Jilid. V, h. 51
[12] Mazhab Maliki adalah mazhab yang dibawah oleh Imam Malik, ia mempunyai nama lengkap Malik bin Anas bin Ibn Amir bin Amru bin Gaiman Abu Abdullah al-Ashbahani al-Humairi. Dia pemimpin Darul Hijrah dan pemimpin orang-orang bertaqwa dan  pembesar orang-orang yang berpendirian teguh. Malik adalah salah satu imam mazhab yang empat dan mujtahid. Dia lebih populer ketimbang yang digambarkan lewat tulisan, dan keutamaannya lebih banyak dari pada yang  tercatat. Dia memiliki banyak karya/karangan, dan yang paling termasyhur adalah kitab Muwat{a’nya. Dia dilahirkan  di Madinah tahun 93 H. lalu meninggal tahun 179 H. Lihat Biografinya dalam khulas{ah Tahzīb al-Kamāl, hal. 313; T{abaqat al-Suyut{i, hal. 89; al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jilid X, hal. 174.
[13] Lihat Muhammad Arafah al-Dasuki, Hasyiyah al-Dasuki ’ala Syarh al-Kabir, (Mesir: Muhammad Ali Shabih, 1934), Jilid IV, h. 77
[14] Mazhab Syafi’i adalah pengikut Imam Syafi’i, nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi ’i bin Saib bin Ubaid bin Yazid bin Hisyam bin Abdul Muththalib bin Abd al-Manaf bin Qushay al-Quraisyih. Dia tinggal di Mesir, dan memiliki silsilah atau keturunan sampai kepada Nabi Muhammad saw dari Abu Manaf. Syafi’i adalah salah satu imam mazhab empat  dalam  bidang fiqh, ia pemimpin para ahli fiqh pada zamannya. Syafi’i pernah menjadi murid Imam Malik ketika di Madinah, bahkan dia hafal muwatha’nya Imam Malik, sehingga dia dijuluki oleh Imam Malik sebagai orang yang cerdas dan kuat ingatannya, karena itu dia disegani dan dihormati oleh Malik. Lihat biografinya  dalam kitab Adab al-Syafi’i wa Manāqibuhû karya Athqalani, jili I, hal. 24; T{abaqat al-Syafi’iyah, karangan Asnawi, Jilid I, hal. 11; atau lihat D{uha al-Islam karya Ahmad Amin dalam bahasan Imam Syafi’i.
[15] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, (alih bahasa Ahrul Sani Fathurrahman, cs), Hukum Wakaf Kajian Kontemporer pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, (Jakarta: Kuwais Mandiri Cahaya Persada, 203), 274
[16] Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Muhadzhab, (Mesir: Isa al-Babi al-Hulabi, tth), Jilid I,  h. 440
[17] Lihat Muhammad Syarbini al-Khatib, Mughni al-muhtaj Syarh al-Minhaj, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Hulabi, tth.), Jilid III, h. 378
[18] Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, (Kairo: Isa Hulabi, tth), Jilid III, h. 157
[19] Menurut peringkat negara berdasar jumlah penduduk per 2007,   negara  Cina  memiliki jumlah penduduk sebesar 1. 321, 9 juta jiwa, India sejumlah 1. 129, 9 juta jiwa, dan Amerika Serikat  sejumlah 301, 1 juta jiwa.  Sumber diambil dari data U. S. Census Bureau, International Data Base yang dikutip oleh Kantor BKKBN Pusat Jakarta tahun 2007
[20] Ahmad Junaidi, et–al, Menuju Wakaf Produktif, (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2008),
[21] Kenyataan sosial yang terjadi di tengah masyarakat seperti gambaran di atas, tentu sulit akan berakhir bilamana tidak ada upaya untuk melakukan rekonstruksi sosial, apalagi dalam teori tindakan yang berada di dalam paradigma sosial terlalu melebih–lebihkan individu sebagai aktor yang memiliki kemampuan untuk menentukan tindakan terlepas dari struktur di luarnya. Bahkan manusia memiliki kebebasan untuk merngekspresikan dirinya tanpa terkait dengan struktur di mana ia berada. Manusia memiliki subjectivitasnya sendiri, artinya ada arena subjectivitas pada diri sendiri ketika individu itu mengambil tindakan  di dalam dunia sosial melalui kesadaranya. Untuk lebih jelasnya memahami teori sosial guna dijadikan sebagai alat pendobrak  fenomena sosial di atas,  dapat dilihat M. Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2005),35 atau lihat dengan Bernard Raho, SVD., Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), 47–70  Lihat
[22] Roibin, Sosiologi Hukum Islam (telaah sosio historis pemikiran Imam Syafi’i), (Malang: UIN Malang Press, 2008), 18
[23] Pusat Jaringan Penelitian IAIN/STAIN se Indonesia, Pedoman Penyusunan Proposal Penelitian Berbagai Bidang Ilmu, (Jakarta: Depag RI., 2003), 3
[24] Lihat M. A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai (Sebuah Inovasi InstruennKeuangan Islam), (Jakarta: CIBER, 2001), 36 atau bandingkan dengan Junaidi, cs, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Depag R.I., 2006), 126
[25] Ibid
[26] Muhammad Iqbal, Dinar Solution, (Jakarta: Gema Insani, 2008), 107

ANALISIS DAN PEMETAAN PEMIKIRAN FIKIH (ISLAM ) MODERAT DI TIMUR TENGAH DAN RELASINYA DENGAN GERAKAN FIKIH FORMALIS (ISLAMIS)

 A. Pendahuluan
Sepanjang sejarah, perkembangan pemikiran keislaman telah menunjukkan adanya varian-varian. Varian itu berupa metodologi, kerangka berpikir, dan orientasi yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran yang lainnya. Fenomena seperti ini pada dasarnya sudah muncul sejak zaman Rasulullah s.a.w.  dan al-Khulafâ al-Râsyidûn. Pada masa itu sudah ada kecenderungan pemikiran yang jika dipetakan memunculkan madrasah hadîst di satu sisi dan madrasah ra’yî di sisi lain.[2] Tetapi perbedaan yang tampak saat itu tidak begitu terlihat. Lain halnya pada  masa Dinasti Ummayah dan Dinasti Abasiyyah, madrasah hadîst dan madrasah ra’yî tampil begitu mencolok dalam panggung sejarah pemikiran dengan seperangkat metodologi dan landasan epistemologisnya.
Runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani yang diakibatkan oleh kolonialisme Barat, telah mempengaruhi perkembangan pemikiran keislaman hingga tampil lebih variatif. Kolonialisme telah cukup lama mengendalikan sendi-sendi kehidupan di negara-negara Islam, termasuk denyut kehidupan intelektualisme dunia Islam. Kolonialisme membuat kondisi umat Islam dilemahkan (mustadh’âf) di sektor pemikiran keislaman, sehingga yang muncul adalah kebekuan cara berpikir umat dan merajalelanya tradisi taqlid karena pintu ijtihad dinyatakan tertutup.[3] Kondisi ini yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan pemikiran baru yang masing-masing menawarkan diri sebagai gerakan pemikiran alternatif.
Kebekuan pemikiran Islam jika dirunut jauh ke belakang sampai penggalan sejarah Islam zaman pertengahan, di mana pemikiran Islam kritis dan rasional –pasca Ibnu Rusyd[4] – terasa mati karena pintu ijtihad telah ditutup dan rasionalisme dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfîr) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam. Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (1058-1111 M) menggugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya, Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan atas Para Filosof).[5] Ibnu Sina (980-1037 M) dan Al-Farabi (257 H/870 M), adalah dua filosof muslim yang menjadi objek kritikan keras Al-Ghazali, dan dianggap banyak melakukan kesalahan dalam logika pemikiran metafisika (ketuhanan).
Gema tertutupnya pintu ijtihad tidak menghalangi gelombang kesadaran umat untuk mendobrak pintu itu dan memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik, perkembangan pemikiran secara dikotomis menempati aras ahlu al-hadîs dan ahlu ar-ra’yî, walau dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan beraneka macam varian baru. Pada dasarnya mereka ingin tampil sebagai gerakan pemikiran alternatif dalam menghadapi perkembangan dunia yang kian modern. Tak jarang yang muncul kemudian adalah perdebatan yang tidak sebatas perang wacana (clash of discourse) tapi juga pergesekan dalam ranah politik (clash of politic). Sehingga fenomena saling hujat antar sesama pemikir muslim tidak bisa dihindari lagi.
Pada klimaksnya, masing-masing kubu yang bertikai itu tak jarang menggunakan cara-cara kekerasan (radikalisme) sebagai senjata untuk membungkam gerakan lawan. Sejarah telah mencatat itu, misalnya gerakan radikalisme di Mesir yang dilakukan oleh kaum fundamentalis, di Al-Jazair dan demikian pula di Turki.
Tulisan sederhana ini adalah sebuah upaya untuk memetakan pemikiran Islam (fikih) moderat yang berkembang di Timur Tengah, sekaligus menganalisis wacana yang diusung dalam rangka mengetengahkan potret intelektualisme Timur Tengah secara utuh dan objektif. Peta sekaligus analisis wacana dalam dataran berikutnya dapat memberi inspirasi untuk melakukan kritik (naqd) dan sekaligus rekonstruksi (i’âdah buniyat min al–jadîd) atas pemikiran yang sudah ada. Dan di sinilah starting poin proyek pengembangan pemikiran Islam di masa-masa mendatang.

B. Batasan Istilah “ Islam Moderat, Formalis, dan Timur Tengah” 
Dalam rangka memudahkan pemetaan, penulis perlu memberikan batasan terhadap istilah ”Islam moderat”, ”formalis”, dan ”Timur Tengah”. Tidak bisa ditampik bahwa keberadaan terminologi ”moderat” dan ”formalis” secara eksplisit diakui di negara–negara muslim, walaupun kedua terminologi tersebut, baik ’moderat’ maupun ’formalis’ masih debatable di kalangan para pemikir dan pengkaji keislaman. Sekalipun demikian, perlu penulis paparkan dalam makalah ini guna mengetahui ciri dan identitas kedua kelompok tersebut.
Berdasarkan penelusuran penulis dari berbagai referensi,[6] bahwa istilah Islam Moderat sebenarnya terbawa oleh konstalasi sosial politik. Dengan demikian pembagian Islam menjadi moderat, liberal, fundamental, dan ekstrim itu juga tidak lepas dari penilaian yang berbeda–beda. Sebenarnya kalau mau jujur, dalam Islam sendiri yang ada hanyalah ”Islam Rah{matan Li al–’A>lami>n”.[7] Tetapi karena sudah terlanjur disebut menjadi istilah maka istilah moderat itu harus kita beri batasan. Sesungguhnya Moderat itu adalah keseimbangan antara keyakinan dan toleransi, seperti bagaimana kita mempunyai keyakinan tertentu tetapi tetap mempunyai toleransi yang seimbang terhadap keyakinan yang lain. Islam yang moderat itu adalah yang natural, ilmiah, dan siap untuk diaplikasikan dalam pergulatan hidup dan tentunya belum dimasuki interest-interest non agama[8]
Oleh banyak kalangan, Islam moderat lebih direpsentasikan kepada kelompok yang lebih modernis, progresif, dan reformis. Pada awalnya Islam moderat ini sebenarnya adalah salafisme, yaitu keyakinan yang didirikan pada akhir abad ke–19 oleh para reformis muslim seperti Muh{ammad ’Abduh (w. 1323 H./1905 M.), Jama>l alDi>n alAfghani (w. 1314 H./1897 M.), Muh{ammad Rashi>d Rid{a> (w. 1354 H./1935 M.), Muh{ammad alShawka>ni> (w. 1250 H./1834 M.), dan Jala>l alShan’a>ni> (w. 1225 H./1810 M.).  Namun, sejumlah orang meniabahkan asalusul keyakinan Salafisme ini kepada Ibn Taimiyah (w. 728 H/1328 M.) dan muridnya yang bernama Ibn Qayyim al–Jawziyah (w. 751 H./1350 H.). [9]  
Istilah salaf  berarti pendahulu, dan dalam konteks Islam, pendahulu itu merujuk pada preode Nabi, para sahabat, dan tabi’in. Selain itu, istilah salafi (seseorang yang mengikuti kaum salaf) punya makna fleksibel dan lentur serta memiliki daya tarik natural, sebab ia melambangkan autentisitas dan keabsahan. Para pendiri salafisme menegaskan bahwa dalam menghadapi semua persoalan, umat Islam seharusnya kembali kepada sumber tekstual asli yaitu Al–Qur’an  dan Sunnah Nabi. Dalam melakukannya, umat Islam harus menginterpretasikan  sumber–sumber asli itu  berdasarkan kebutuhan  dan tuntutan modern  tanpa harus terikat  mutlak pada produk penafsiran  generasi muslim awal.[10] Seperti awalnya dipahami, salafisme tidak serta–merta anti intlektual, sebagaimana wahhabisme, tetapi ia cenderung tidak tertarik pada sejarah. Dengan menekankan asumsi “zaman keemasan” di dalam Islam, para pengikut salafisme mengidealisasi zaman Nabi dan Sahabatnya, dan menolak atau tidak tertarik pada warisan sejarah Islam yang lebih besar. 
Sementara ”Islam formalis” adalah suatu istilah yang dilekatkan pada suatu kelompok Islam yang memiliki militansi dalam menyebarkan Islam. Oleh kebanyakan para pemikir, kelompok ini lebih direpsentasikan kepada suatu kelompok yang sangat fundamentalis, militan, ekstrimis, radikal, jahidis, atau cukup dengan menamai istilah islamis. Kholed Abou El–Fadl menyebut kelompok ini dengan istilah Puritan”[11]. Dia lebih suka mengambil istilah ini karena menurutnya ciri yang menonjol pada kelompok ini adalah menganut paham absolutisme dan tak kenal kompromi dalam berkeyakinan.[12]  Dalam berpikir, kelompok ini secara konsisten dan sistematis menganut absolutisme, berpikir dikotomis, dan bahkan idealistik. Pada Isu tertentu, seperti bagaimana mereka menafsirkan warisan Nabi dan para Sahabat, kelompok ini cenderung menganut absolutisme dan kaku. Inilah yang dimaksud kelompok ”Islam Formaslis” (Puritan) dalam makalah ini.
Kelompok ini berawal dari Muhammad Ibn Abd al–Wahhab (w. 1206 H/1792 M) yang memiliki gagasan utamanya bahwa umat Islam harus dikembalikan kepada jalan yang benar agar mendapatkan ridla Allah, karena ia memandang umat Islam telah melakukan kesalahan dan meyimpang dari jalan Islam yang lurus. Dengan semangat puritan, Abd al–Wahhab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggerogoti agama Islam, yang diantaranya adalah tasawuf, doktrin perantara (tawass{ul), rasionalisme, ajaran Syi’ah, serta banyak praktik lain yang dinilainya sebagai inovasi bid’ah.[13]
Kelompok ini cenderung menyikapi segala sesuatu yang tidak datang dari wilayah Arab sebagai sesuatu yang layak dicurigai, dan mereka percaya bahwa pengaruh dari non Islam itu berasal dari bangsa seperti Persia, Turki, dan Yunani. Misalnya, kaum Wahhabi percaya bahwa sufuisme adalah sesuatu yang diimpor dari Persia. Kepercayaan yang menggunakan perantara (tawass{ul) para wali dan memuja makam suci berasal dari Turki. Sementara itu, rasionalisme dan filsafat adalah pengaruh bangsa Yunani.[14] Klaim Wahhabi ini terlalu menyederhanakan dan tidak akurat. Namun yang jelas, tidak perlu diragukan lagi bahwa kaum Wahhabi selalu menyamakan praktik budaya kehidupan Badui yang keras dengan satu–satunya Islam yang benar.[15]
Dengan melihat gambaran di atas, dapat dipetakan bahwa batasan pada kedua kelompok tersebut adalah terletak pada bagaimana mereka menyikapi teks keagamaan yang asli, yaitu Al–Qur’an dan Sunnah sebagai dasar kehidupan umat  dan merespon kondisi yang berkembang selanjutnya. Islam Moderat adalah Islam yang lebih terbuka dalam melihat segala persoalan dan lebih fleksibel dalam mengambil keputusan melalui teks tersebut. Islam moderat lebih dapat menerima penafsiran sesuai dengan tuntutan zaman dan modernitas, tidak terikat dengan produk penafsiran yang dihasilkan oleh generasi muslim awal. Sementara Islam formal yaitu kelompok Islam yang selalu memahami teks keagamaan dengan cara absolutisme dan bersifat kaku. Mereka  menyeleksi secara ketat segala sesuatu yang datangnya dari pihak luar, serta tetap berpegang teguh pada apa yang disebut dalam teks keagamaan. Oleh karena itu mereka akan menolak dengan keras manakala penafsiran itu tidak sepaham dengan penafsirannya.
Adapun Istilah “Timur Tengah” sebagaimana kata Hasan Hanafi,[16] adalah ungkapan bahasa Inggris (Middle East). Karena, menurut dia, negara-negara Arab adalah “Timur Tengah” jika dibandingkan dengan Cina atau “Timur Jauh”, dan negara Arab kawasan Barat (Maghribi, Maroko dan sekitarnya), adalah “Timur Dekat” bagi orang Inggris. Sebagaimana Indonesia berada di kawasan Asia Tenggara bagi Orang Barat dan berada di kawasan Barat daya bagi orang Timur. Jadi Istilah Timur Tengah dalam tulisan ini adalah nama untuk kawasan negara-negara Arab (Mesir, Arab Saudi, Iraq, Iran dan sekitarnya).

C. Peta Pemikiran Fikih Moderat Timur Tengah dan Relasinya dengan Islam Formalis
Barangkali tidak ada isu yang paling membedakan antara kelompok moderat dan puritan melebihi topik sifat–dasar dan fungsi hukum, karena hukum memainkan peran sentral di dalam Islam, sampai banyak di kalangan muslim yakin bahwa tanpa hukum agama Islam tidak akan ada. [17] Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis hanya mengusung isu–isu yang berkaitan dengan persoalan hukum Islam, mengingat hukum Islam menjadi fokus perdebatan yang sangat pelik disamping teologi dari kedua kubu kelompok ini.
Pemikiran hukum/fikih dari kedua kelompok ini bila dilihat dari fakta sejarah tidak lain merupakan respon dari perkembangan politik yang berkembang pada saat itu. Dimana kelompok yang berintegrasi dengan dunia Barat (Modern) melahirkan corak fikih yang lebih moderat, sementara kelompok lainnya yang tetap berupaya untuk mempertahankan tradisi lokal (internal) melahirkan fikih salaf, yang pada gilirannya dikenal dengan kaum puritan atau salafi. Jika dibuatkan skema barangkali dapat digambarkan sebagai berikut:


Kaum Moderat                            Barat/Modern
                                                                                 Respon                    melahirkan
                                                                                  Moderat
 CORAK FIKIH TIMUR TENGAH    akibat           POLITIK   lahir    FIKIH  
                                                                                  Puritan
                                Respon                     melahirkan
Kaum Salafi                                  Lokal/Internal

Dari gambaran peta di atas, jelas menunjukkan adanya perbedaan yang sangat mencolok, satu sisi kelompok moderat berupaya merespon nilai moderen, sehingga diharapkan dapat melahirkan fikih yang lebih dinamis dan fleksibel. Namun di sisi lain, kaum Salafi berupaya mempertahankan tradisi lokal, sehingga corak fikih yang diusungnya akan lebih kaku dan tidak mau kompromi. Beberapa pemikiran yang diusung oleh kelompok  moderat terkait dengan  persoalan hukum (fikih) dan relasinya dengan kaum puritan adalah sebagai berikut:
1. Pemikiran tentang Hukum Pidana ( Fikih JinayahH{udu>d)  
Salah satu pemikiran kelompok moderat dalam kaitan dengan hukum pidana adalah persoalan h{udu>d. Kaum moderat berpandangan bahwa kebanyakan peraturan hukum seharusnya ditentukan di tangan rakyat, keculai untuk sekelompok peraturan hukum yang bersifat inti yang dikenal dengan istilah h{udu>d. H{udu>d adalah sehimpunan hukum yang secara eksplisit disebut dalam Al–Qur’an. Hukum tersebut meliputi, hukuman bagi kasus zina dan pencurian. Karena h{udu>d mencakup hukuman pidana yang keras, dan aspek pemberlakuan hukuman ini sangat detail dan banyak persyaratan, maka dalam h{udu>d ini menjadi sulit dalam realitas. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum moderat model hukuman ini sangat menyulitkan penerapannya, sehingga jarang terimplementasikan.
Sebagai gambaran, kaum moderat mengillustrasikan bahwa untuk membuktikan kasus perzinaan agar sampai pada tingkat penghukuman dengan seratus cambukan, amatlah sulit, karena dibutuhkan empat orang saksi, dan empat orang saksi tersebut harus bisa membuktikan bahwa mereka melihat penis si pelaku sepenuhnya dimasukkan ke dalam vagina. Ini jelas merupakan standar pembuktian yang sangat sulit. Namun apa yang membuat lebih sulit adalah apabila dari beberapa empat saksi tersebut bersaksi bahwa mereka  tidak melihat koitus, maka mereka yang mengklaim telah melihat tindakan itu secara penuh dihukum atas tuduhan menfitnah. Jadi, siapapun datang dengan membawa pernyataan tanpa bukti yang tidak dibenarkan oleh yang lain, ia melakukan itu semua dengan resiko. Tentunya, hal ini berfungsi untuk menghindari dari penuduhan yang tidak dibenarkan mengenai seks yang tidak sah. Dalam kasus apapun, menurut pendekatan ini, orang bebas tidak menggunakan hukum h{udu>d. Karena itu, menurut kelompok moderat hukum yang relevan atas kasus ini adalah hukum yang dibuat oleh badan legislatif. [18] 
Menurut mereka, syariat berfungsi sebagai panduan moral dan etika, dan rakyat secara keseluruhan menjadi sumber bagi proses legislasi. Bahkan sebagian kelompok moderat lainnya berpandangan bahwa di dalam demokrasi Islam, badan legislasi seharusnya memasukkan hukum apa pun yang dipandangnya tepat. Namun demikian, harus ada sebuah peradilan tertinggi yang bisa menghapus setiap undang–undang yang tidak sejalan dengan Al–Qur’an.
Pandangan kelompok moderat ini nampaknya beralasan, karena dalam kasus hukuman h{udu>d  penerapannya sering membabi buta. Sebagai contoh; Pada tahun 1980 terjadi sebuah insiden yang terkenal di Arab Saudi: Para tahanan di penjara Hammam merayakan hari raya Idul Fitri dengan menyanyi–nyanyi. Otoritas penjara yang berpaham Wahhabi antimusik berusaha menghentikan mereka dengan memukul. Pangeran Nayef memerintahkan 100 cambukan pada setiap penghuni penjara itu, tanpa pengadilan. Dalam insiden yang lain, anak–anak Syi’ah umur belasan tahun tersinggung karena keyakinan mereka dihina oleh gurunya, namun Pangeran Meqran dari Madinah justru memerintahkan  agar anak–anak itu dicambuk masing–masing 300 kali. [19]   
Insiden ini menurut kelompok moderat, jelas melanggar aturan hukum Islam, sebab aturan hukum Islam terhadap hukuman cambuk tidak lebih dari 100 kali cambukan, dan hanya diterapkan untuk tiga kejahatan: zina, pencemaran nama baik, dan minum al–kohol. Dan penyambukan itu dilakukan dengan tali, kain atau dahan yang kecil, karena tujuannya hanya untuk membuat rasa malu, bukan menyakiti. Penyambukan juga tidak boleh dengan kekuatan penuh; dan bagian yang didera terbatas pada tubuh di atas pinggang. Namun kerajaan Saudi secara rutin menetapkan hukuman cambuk hingga ribuan kali; pada awal tahun 2002 seorang laki–laki di Jeddah dicambuk hinga 4. 750 kali kaena berzina dengan iparnya. Alat cambuknya adalah balok kayu atau kabel baja, yang menyebabkan sakit luar biasa.[20]
Pada titik ini, relasi dengan kelompok puritan adalah sama–sama memberikan legitimasi akan hukum h{udu>d.  Hanya saja, bagi kelompok moderat hukum h{udu>d bisa tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan dalam teks keagamaan, mengingat berbagai kendala yang sangat rumit, sehingga hukum h{udu>d dapat diganti sesuai dengan kesepakatan badan legislasi sebagai lembaga pembuat undang–undang dengan tetap berpedoman pada nilai–nilai Al–Qur’an. Sementara kelompok puritan memandang bahwa ketentuan dalam Teks keagamaan dipandang sebagai ketentuan Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat. Bahkan penggantian hukuman h{udu>d dalam bentuk yang lain dipandang sebagai praktik Bid’ah, dan termasuk pengikut inspirasi  Barat.

2. Pemikiran tentang Politik dan Demokrasi (Fikih Siyasi)
Isuu yang tidak kala menariknya di kalangan Islam moderat adalah issu politik dan demokrasi. Munculnya pemikiran tentang fikih politik ini adalah untuk menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut kaum moderat, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk kelompok ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh (1862-1905), Fazlurrahman (lahir 1919), dan Mohamed Arkoun.
Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan.[21]
Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak. Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk dalam ranah politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, prinsip persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.[22]
Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha maupun Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Hal ini karena menurutnya Islam bukanlah agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antar sesama Muslim dan sesama manusia lainnya yang untuk memberlakukannya dibutuhkan penguasa atau negara. Dalam bahasa lain, bagi Abduh, kaitannya dengan agama adalah subsider saja dan dalam pendapatnya juga bahwa tidak ada orang atau lembaga yang memegang kekuasaan keagamaan dengan mempunyai kewenangan wakil Tuhan di muka bumi. Baginya, kepala negara merupakan seorang sipil yang diangkat dan dapat diberhentikan rakyat, dan kepada mereka dia bertanggung jawab. Seiring dengan pengakuannya akan konsep demokrasi, Program Partai Nasional Mesir yang dirumuskannya sendiri pun membuka keanggotaan kepada seluruh rakyat Mesir, yang beragama Islam, Yahudi, Kristen atau lainnya.[23]
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’a>n dan Hadi>t{, preferensi Islam adalah system politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit. Selanjutnya Fazlur-Rahman menjelaskan kosep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur-Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat.[24] Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti al-Maududi.
Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertama-tama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada terminologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim. Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara Islam ala Khomeini di Iran, karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah syûra, ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis.[25] 
Meski pandangan kaum moderat tentang demokrasi ini dinilai oleh sebagian kelompok memiliki kekurangan, tetapi diakui atau tidak demokrasi sebagai sesuatu yang tidak ternilai harganya, sampai sekarang belum ditemukan alternatif yang lebih unggul. Demokrasi, baginya adalah majority rule minority right, yaitu sistem politik dengan prinsip mayoritas dengan tidak mengganggu kepentingan minoritas yang paling fundamental.
Bahkan di era kontemporer saat ini, isuu tentang Demokrasi manjadi issu yang tetap menarik. Dalam buku terbarunya, Making Islam Democratic: Social Movements and the Post-Islamist Turn, sebagaimana dikutip oleh Qurtubi, Asef Bayat memberi ulasan menarik mengenai fenomena ini. Dia mengatakan bahwa diskusi tentang “Islam sesuai atau tidak sesuai dengan demokrasi” sudah tidak relevan lagi, karena dunia Islam, khususnya Arab dan Timur Tengah, sedang “in the process of democracy.” Kesimpulan Bayat ini didasarkan pada hasil risetnya tentang “post-Islamist” di Iran dan Hizb al-Wasat{ (Partai Tengah/Moderat) di Mesir, di mana menurutnya, gerakan-gerakan sosial dan perjuangan politik yang dipelopori organisasi mahasiswa, kaum perempuan, akademisi, aktivis, dan bahkan kaum ulama, telah memberi konstribusi positif bagi perkembangan demokrasi, pluralisme, dan liberalisme, serta mendorong pertumbuhan civil society di kedua negara itu. Iran memang dikenal dunia internasional sebagai negara yang telah melahirkan tokoh-tokoh yang bersuara lantang tentang demokrasi dan kebebasan sipil, terutama sejak Imam Khomeini memberlakukan otoritas dan supremasi ulama di atas segela-galanya dan memberangus ekspresi civil liberties. Suara lantang itu tidak hanya muncul dari kelompok aktivis NGO dan kaum intelektual kampus saja, tetapi juga dari dalam mullah sendiri yang selama ini dikenal konservaif.[26]
Di Mesir, perubahan fundamental juga terjadi di tubuh H{izb al-Wasat{, sayap pecahan Ikhwa>n al–Muslimi>n. Fenomena H{izb al-Wasat{ ini menarik karena seperti ditunjukkan dalam studi Bayat dan juga Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet: Despots, Democrats, and the New Politics of Islam, kelompok/partai “Islam kanan” ini telah melakukan reformasi mendasar mengenai fondasi keagamaan kepartaian, berupa, al; menerima non-Muslim (khususnya Kristen Koptik) dan kaum perempuan dalam struktur politik partai dan calon legislatif, serta bersedia bekerja sama dengan partai non-Islam. Pemandangan ini tentu tidak umum buat partai Islam kanan yang selama ini dikenal memiliki visi keislaman ketat dan konservatif. Dengan perspektif baru kepartaian ini, H{izb al-Wasat{ menegaskan keberbedaannya dengan mainstream Ikhwa>n al–Muslimi>n (IM) di Mesir yang dikenal konservatif dan tidak menghargai kebebasan sipil, anti-demokrasi dan pluralisme.[27]
Penegasan keberbedaan ini disampaikan oleh salah satu pendiri H{izb al-Wasat{, Essam Sultan, yang mengatakan bahwa partainya berbeda secara fundamental dengan IM dalam hal “keimanan” pada pluralisme, demokrasi, kebebasan berpikir dan berekspresi, serta hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kontemporer. Essam Sultan mengklaim bahwa IM, dengan pandangan-pandangan konservatifnya, telah mengisolasi diri dari komunitas luar non-IM, padahal menurutnya kelompok/grup di luar partai harus dijadikan sebagai bagian dari perubahan global. Renaissance bagi masa depan Mesir, menurutnya, tidak akan berhasil tanpa melibatkan komunitas yang lebih luas termasuk non-Muslim dan kaum perempuan yang selama ini selalu dalam “pojok” sejarah kepolitikan Islam.[28] Demikianlah issu demokrasi yang diusung oleh Islam moderat akhir–akhir ini di wilayah Timur Tengah.
Gambaran demokrasi yang diusung oleh kaum moderat, jelas menunjukkan akan keterbukaan dalam sistem pemerintahan, siapapun bisa masuk di dalamnya, tanpa ada sekat agama dan kelompok, termasuk issu gender. Bahkan untuk memerintah suatu Negara, kehendak rakyat mempresentasikan kedaulatan politik. Karena itu pandangan atau suara setiap warga, muslim atau yang lain, seharusnya juga dipertimbangkan dalam rangka mendapatkan kehendak mayoritas, sehingga hasilnya nanti dapat menggambrkan kehendak rakyat. Oleh karena itu, kehendak mayoritas rakyat harus dihormati dan tetap dalam bingkai parameter konstutusional; jika melanggar batas–batas konstitusional, kehendak mayoritas rakyat tidak akan dihormati.
Dalam hubungannya dengan Islam puritan, issu ini menjadi menarik karena kaum puritan dengan serta–merta menolak adanya issu demokrasi dalam suatu pemerintahan, karena demokrasi dipandang sebagai produk dunia Barat.  Kaum puritan sangat bersikukuh untuk menciptakan kembali lembaga khila>fah sebagai landasan system pemerintahan Islam. Dengan ini, mereka membayangkan model yang dibangun oleh empat Khulafa>’ al–Ra>shidu>n, yang memegang kekuasaan  penuh sepeninggal Nabi S> A. W.

3. Pemikiran tentang Konsep Jihad (Fikih Jiha>d)
Aspek penting yang menjadi sorotan bagi kaum moderat adalah masalah “jihad”. Jihad adalah prinsip utama dalam akidah Islam; istilah itu sendiri secara h{arfiah  berarti “berusaha keras, tekun bekerja, berjuang, mempertahankan.” Berdasar pengertian ini kaum moderat berpandangan bahwa dalam banyak hal jihad berarti etika kerja yang kuat secara spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah dimunglkinkan tanpa jihad–yaitu tanpa kerja keras dan berkesinambungan secara tekun. Oleh karena itu, membersihkan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu, menyembuhkan orang sakit, memberikan makan kepada kaum yang kekurangan, menegakkan kebenaran dan keadilan, bahkan dengan resiko pribadi yang besar, semuanya adalah bentuk jihad.[29]
 Menurut kelompok moderat, Al–Qur’an menggunakan istilah jiha>d kebanyakan untuk merujuk pada tindak kerja keras guna mewujudkan tindakan Tuhan di muka bumi ini, yang mencakup semua aktifitas seperti dijelaskan di atas.[30] Nabi Muhammad berulang–ulang mengajarkan bahwa bentuk jihad terbesar adalah memerangi hasrat rendah manusia atau menyampaikan kebenaran di hadapan kekuasaan yang menindas.  Kelompok moderta juga berpandangan bahwa berusaha sekuat tenaga dan bekerja keras dalam perang, asalkan perang tersebut adil dan baik, juga termasuk dalam katagori jihad.
Jihad menjadi simbol kuat bagi kesungguhan, kerja keras, dan kesuksesan di dalam sejarah Islam. Sebagai simbol, jihad dipakai untuk menghimpun antusiasme dan gairah untuk beragam tujuan, termasuk perang. Dalam perang, jika pertempurannya adalah antara muslim dan nonmuslim, maka penguasa menjadi seseorang yang menyerukan jihad. Akan tetapi jika tujuannya adalah perkara internal, seperti protes masyarakat, pemberontakan, penggalangan dana untuk membangun tempat pendidikan, atau menghimpun dana untuk  mendirikan perpustakan atau cagar alam bagi anjing–anjing dan kucing jalanan (yang biasa menjadi praktik umum di era klasik), seruan jihad biasanya dikeluarkan oleh sarjana yang berpengaruh yang telah terbukti  menguasai suatu perkara tertentu.[31]
 Kelompok moderat juga berpendapat bahwa Al–Qur’an tidak menggunakan kata jiha>d untuk merujuk pada perang atau pertempran; Perang atau pertempuran dirujuk dengan kata qita>l. Sementara Al–Qur’an menyebut jihad sebagai mutlak dan tak terbatas. Jihad pada dasarnya baik, sementara qita>l tidak demikian. Jihad itu baik karena kerja keras menuju tujuan yang baik. Akan tetapi qita>l  (perang) aealah sesuatu yang berbeda sama sekali. Qita>l dalam Al–Qur’an dibatasi oleh kondisi tertentu, sedangkan desakan akan jihad, seperti acuan paa keadilan dan kebenaran, mutlak dan tak bersyarat. Pada setiap kesempatan terpisah ketika Al–Qur’an  mendesak umat Islam untuk berperang, segera mensyaratkan tuntutan itu dengan sebuah perintah kepada kaum muslimin untuk tidak melampaui batas, untuk memaafkan, dan mencai perdamaian.[32] Walaupun fakta ini dapat diketahui dengan sekedar membaca teks Al–Qur’an, anehnya realitas tekstual ini cenderung dilupakan oleh banyak sarjana muslim dan nonmuslim yang mempelajari Al–Qur’an. Meski demikian, tidak diperselisihkan bahwa Al–Qur’an tidak penah mendukung pilihan militer tanpa mensyaratkan pilihan itu dengan beberapa cara yang signifikan.
Perdebatan tentang jihad oleh dua kelompok ini memang tidak akan pernah berakhir, karena adanya perbedaan mendasar dan fundamnetal dalam membaca teks  Al–Qur’an tentang perang. Bagi kelompok puritan seperti Maududi, Sayyid Quthb, dan yang lebih baru Bin Laden serta para pendukung bom–bom teroris di Israel, mengambil inspirasi dari sebuah ayat al–Qur’an yang mengatakan: “Telah diizinkan mengangkat senjata kepada mereka yang diserang, karena mereka telah diperlakukan dengan buruk”.[33] Ayat ini dikutip untuk membenarkan peperangan dan gerilya melawan Amerika dan Israel dengan alasan bahwa keduanya adalah penyerang Islam, bukan sekedar musuh pemimpin Islam atau para perebut wilayah.[34]   
Sekalipun tidak dapat ditampik bahwa kelompok moderat juga mengakui adanya jihad dalam bentuk peperangan, tetapi menurut mereka Al–Qur’an selalu menakankan bahwa Allah tidak menyukai agresi dan tidak mencintai para agresor. Al–Qur’an mengingatkan umat Islam agar mereka harus secara kritis merenungkan cara mereka berhubungan dengan orang lain agar mereka jangan sampai tanpa sadar terjatuh pada sikap–sikap yang tidak adil.[35] Memang Al–Qur’an mengakui hukuman bagi mereka yang berbuat salah, dan mengakui bahwa kadang kala diperlukan bertindak dengan gaya menghukum. Jika diserang umat Islam bisa membela dirinya dengan cara yang baik, namun bila musuh berhenti, umat Islam harus bisa menahan diri dari tindakan melakukan kejahatan. Dalam konteks ini Al–Qur’an menyatakan: ”Jika mereka menyerangmu, seranglah mereka seimbang dengan serangannya terhadapmu (bunuhlah), jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali bagi orang–orang yang zalim”.[36]  Konteks ayat ini, Al–Qur’an sedang menunjuk pada perang dalam rangka membela diri, khususnya merujuk pada situasi ketika umat Islam dalam keadaan terpaksa. Dari sini jelas bahwa kekerasan bukanlah situasi yang ideal. Al–Qur’an  berbicara tentang situasi ketika umat Islam hatus terpaksa mengunakan kekerasan karena sudah tidak ada pilihan lain.
Dalam menyikapi persoalan jihad ini,  seorang ulama’ besar yang sekaligus sebagai ilmuwan tersohor di dunia saat ini, yaitu Yusuf Qardawi memberikan pandangannya terhadap jihad tersebut dengan ungkapan yang sangat moderat.[37] Mengenai kategori pertama, beliau mengatakan, Ini adalah sebuah kategori yang berusaha untuk memberikan selubung kelalaian terhadap jihad dan menjauhkan jihad dari kehidupan ummat. Mereka, malahan, menganggapnya sebagai kepedulian dan peran utama mereka meningkatkan nilai-nilai spiritual dan amal-amal kebajikan ummat – sebagaimana klaim mereka –, dan mempertimbangkan hal ini sebagai jihad yang utama: perjuangan terus-menerus melawan setan dan hawa nafsu seseorang.
Kategori kedua, beliau mengatakan, Sebagai lawan dari kategori di atas, di sana ada yang lain lagi yang mempersepsikan jihad sebagai sebuah “perjuangan melawan seluruh dunia”. Mereka tidak membedakan antara yang memerangi kaum muslimin, berdiri di jalan dakwah, atau yang mencoba menjauhkan mereka dari agamanya, dan mereka yang melebarkan jembatan perdamaian kepada kaum muslimin dan menawarkan rekonsiliasi serta pemulihan hubungan dengan mereka, tidak menggunakan pedang kepada mereka dan tidak mendukung musuh dalam melawan mereka. Menurut kategori ini, semua orang kafir adalah sama. Orang-orang yang tergolong kategori ini percaya bahwa ketika kaum muslimin memiliki kemampuan, mereka berkewajiban untuk memerangi orang-orang kafir hanya dengan pertimbangan kekafiran mereka, yang mereka anggap sebagai alasan yang memadai untuk memerangi orang-orang kafir tersebut.
Beliau lalu memilih pendekatan moderat yang direpresentasikan oleh kategori ketiga, beliau mengatakan, kategori ketiga adalah “ummat yang moderat” (ummat pertengahan) di mana Allah SWT telah memberi petunjuk kepada pendekatan moderat dan diberikan pengetahuan, kebijaksanaan, dan pemahaman yang dalam mengenai syariah dan realitas. Oleh karenanya, kategori ini tidak tergelincir kepada kelalaian dari kategori pertama yang berusaha untuk membiarkan hak ummat tanpa dipersenjatai dengan kekuatan, Al-Qur’an-nya tidak dijaga dengan pedang, serta rumah dan tempat-tempat sucinya tanpa penjaga untuk melindungi dan mempertahankan mereka.
Demikian juga, kategori ini tidak jatuh pada tindakan berlebihan dan ekstrimisme dari kategori kedua yang berusaha untuk memerangi orang-orang yang damai, dan mendeklarasikan perang melawan semua orang tanpa membeda-bedakan; putih atau hitam, di Timur atau di Barat. Tujuan mereka melakukan hal itu adalah untuk mengarahkan orang-orang ke (jalan) Allah SWT, mengantarkan mereka yang terbelenggu ke Surga dan membawa mereka secara paksa dengan tangan ke jalan yang lurus. Mereka (kategori kedua itu) lebih lanjut menambahkan bahwa tujuan mereka adalah untuk menghilangkan hambatan-hambatan di depan orang-orang itu yang dibentuk oleh rezim yang z{alim yang tidak memungkinkan mereka untuk menyampaikan firman Allah dan seruan Rasul-Nya kepada masyarakat, sehingga mereka dapat mendengar dengan keras dan jelas dan bebas dari segala noda.

D. Penutup
Demikianlah gambaran singkat pemikiran Islam moderat Timur Tengah yang dapat penulis paparkan, sekalipun hanya sebatas pemetaan pemikiran yang sangat sederhana, tetapi setidaknya dari gambaran di atas, dapat diketahui bahwa pemikiran Islam moderat mulai diminati di kawasan ini. Yang jelas munculnya pemikiran Islam moderat Timur Tengah merupakan varian yang tidak lepas dari trend atau kecenderungan pemikiran Islam yang ada di Timur Tengah, yaitu pemikiran yang konservatif–tradisionalis. Dengan adanya trend pemikiran moderat Timur Tengah saat ini merupakan gambaran bahwa kekerasan maupun tindakan konservatif sudah mulai tidak diminati dan bahkan ditingalkan karena tindakan itu tidak membawa kedamaian dan tidak selaras dengan misi “rah{matan lil’a>lami>n”.
Pada dasarnya, setiap trend pemikiran tersebut, jika dikaji lagi secara mendalam, akan muncul varian-varian lain yang lebih komplek. Akan tetapi, kesemuanya berperan dalam menentukan harapan dan obsesi bangsa kawasan Timur Tengah di masa mendatang. Ketiga issu yang diusung tersebut, secara kasar, bisa dilihat dalam perspektif paradigmatis, dimana kelompok moderat mempunyai bahasa khusus yang berbeda, yang tidak dipahami oleh kelompok puritan. Kalaupun bisa dikomunikasikan, dialog antara mereka sulit untuk saling dipertemukan, karena masing–masing dari mereka menganggap yang paling compatable dengan kondisi dunia Islam Timur Tengah, sebenarnya mereka telah terperangkap ke dalam kerangka epistemik yang pada akhirnya mengarah pada dogmatisme (untuk menghindari istilah sektarianisme).
Tipologi pemikiran moderat seperti yang diilustrasikan di atas adalah refleksi dari interaksi dan sikap para intelektual Timur Tengah terhadap isu di sekitar tradisi dan modernitas. Sikap tersebut kemudian memunculkan – di samping discourse baru menyangkut isu tradisi dan modernitas – idiom-idiom dan istilah baru dalam kamus pemikiran fikih Arab yang sebelumnya kurang diminati dan kurang menjadi perhatian, menjadi menarik untuk terus dikaji oleh dunia Islam lainnya. Terutama di negara–negara muslim di belahan dunia ini, khususnya di Indonesia, sehingga Islam moderat tidak hanya sebagai simbol klasik yang tertuang dalam teks keagamaan, tetapi pada akhirnya menjadi realitas empirik dalam tatanan kehidupan masyarakat muslim dalam bingkai fikih yang selalu membawa rahmat, baik di bidang ahwal al–Shahshiyah, mu’amalah, siyasah, jinayah, maupun iqtishadiyah.

Wallahu A’lam ’ala Sabilil Falah.....


DAFTAR PUSTAKA

Malih, Abu Rajab, ”Resensi Fiqh of Jihad” Yusuf Qardawi dalam Citus Dakwatuna, diakses tanggal 20 Mei 2010
Azhar, Muhamad, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Al–Kut{airy, al–Sayyid Muhammad, al–Salafiyyah bain Ahl al–Sunnah wa al–Imamiyyah, Beirut: al–Ghadir li al–Tiba’a>h, 1997
Al–Qurtuby, Sumanto, “Fundamentalis Moderat di Timur Tengah” dalam Artikel http://www.islamlib.com.  Diakses tanggal 27 Mei 2010
Al–Rihani, Amn, Ta>ri>kh Najd wa Mulh{aqatih, Beirut: Dar al–Rihani, 1973
Burchhadt, John Lewis, Al–Baw wa Wahhabiyyah, Penerjemah: Muhammad Al–Asyuti, Beirut: Dar Swidan, 1995
Departemen Agama R. I., Al–Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. al–Syifa’, 2006
El–Fadl, Kholed Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006
Hanafi, Hasan, “Kata Pengantar”, dalam Islam Garda Depan : Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, M. Ainul Abied Shah (ed.), Bandung : Mizan, 2001
―――――, Islamologi 2 dari Rasionalisme e Empirisme, Yogyakarta: LkiS, 1973
Haikal, Muhammad Husein, Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993
Nasution, Harun, Filsafat dan Misticisme, Jakarta : Bulan Bintang, 1973.
Roibin, Sosiologi Hukum Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008.
Sadzalai, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993.
Schwartz, Stepehen Sulaiman, Dua Wajah Islam: Modeatisme vs Fundamentalisme alam Wacana Global, Jakarta: Kerjasama Blantika denan Libforal–The Wahid Institut–Center of Islamic Pluralism, 2007.
Shadid, Anthony, Legacy of the Prophet: Despots, Democrats, and the New Politics of Islam,  2002
Wati, Ana Bilqis Fajar, Pemikiran Keagamaan Fazlur Rahman (Studi atas Sumber–sumber Hukum Islam dan Terbkannya Pintu Ijtihad” dalam Antologi Kajian Islam, Seri 10, Surabaya:  PPS IAIN Sunan Ampel Press, 2006








[2] Madrasah hadîs adalah semacam corak pemikiran keislaman yang mendasarkan pada nash dhâhir, sebaliknya madrasah ra’yî lebih banyak mendasarkan pada akal atau rasio dalam menggali pengetahuan keislaman. Lihat Khuzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997).
[3] Lihat Ana Bilqis Fajar Wati “Pemikiran Keagamaan Fazlur Rahman (Studi atas Sumber–sumber Hukum Islam dan Terbukanya Pintu Ijtihad” dalam Antologi Kajian Islam , Seri 10, (Surabaya: PPS IAIN Sunan Ampel Press, 2006), 51
[4] Pemikiran Ibnu Rusyd yang kritis dan rasional ini dapat dilihat pada Hasan Hanafi, Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme, (yogyakarta: LKiS, 2007), 145–241
[5] Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hlm. 34-36
[6] Lihat Kholed Abou El–Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006); Stephen Sulaiman Schwartz, Dua Wajah Islam Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, , (Jakarta: Kerjasama Blantika dengan libforal–The Wahid Institut–Center for Islamic Pluralsm, 2007); Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik, (1998). Mochtar Pabotingi, “Tentang Visi, Tradisi, dan Hegomoni Bukan Muslim: Sebuah Analisis”, dalam Mochtar Pabottingi (Ed)., Antara Visi, Tradisi, dan Hegomoni Bukan Muslim, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1982)
[7] Lihat al–Qur’an Surat al–Anbiya’ (21): 107.  Allah dengan tegas menyatakan: “Dan tidaklah Kami mengutus kamu  (Muhammad) melainkan untuk menjadi rah{mat bagi semesta alam”
[9] Abou El–Fadl, Op–cit, 93
[10] Ibid, 94
[11] Istilah “puritan” menurut Kholed adalah yang paling tepat dipakai dalam konteks suatu kelompok Islam, mengingat akan lebih bisa dipahami menggambarkan pandangan yang bercorak reduksionisme fanatik dan literalisme cupat–pikir pada suatu kelompok. Sementara istilah fundamentalis menurutnya sangat tidak pas untuk konteks Islam, karena dalam bahasa Arab istilah itu dikenal dengan kata us{u>li>, yang berarti “seseorang yang bersandar pada hal–hal yang bersifat pokok dan mendasar”. Jadi funfdamentalisme Islam memunculkan mispersepsi yang tidak bisa dihindari, bahwa hanya kelompok fundamentalis saja yang mendasarkan penafsiran mereka pada Al–Qur’an dan Sunnah Nabi–sumber dasar dan fundamental bagi teologi dan hukum Islam. Padahal banyak muslim liberal, progresif, bahkan moderat mendeskripsikan diri mereka sebagai us{u>li>, atau fundamentalis. Tanpa berpikir bahwa ini akan menimbulkan konotasi yang negative.
[12] Abou El–Fadl, Op–cit,  29
[13] Ibid, 62–70
[14] Amin Al–Rihani, Ta>ri>h{ Najd wa Mulh{aqatih, (Beirut: Dar Al–Rihani, 1973), 35–36
[15] Hubungan antara paham Wahhabi dan kehidupan Badui sangat jelas tergambar di dalam sebuah karya seerti John Lewis Burckhadt, al–Badw wa Wahhabiyyah,  penerjemah: Muhammad al–Asyuti, (Beirut: Dar Swidan, 1995; al–Sayyid Muhammad al–Kut{{airy, al–Salafiyyah bain Ahl–al Sunnah wa al–Ima>miyyah, (Beirut: al–Ghadir Li al–Tiba’ah, 1997), 509.  
[16] Hasan Hanafi, “Kata Pengantar”, dalam Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, M. Ainul Abied Shah (ed.), (Bandung : Mizan, 2001), 21
[17] Hukum Islam yang dimaksud adalah Syari’ah dan Fikih. Karena pada kenyataannya hukum Islam itu terbagi pada dua kategori tersebut. Syari’ah adalah hukum yang abadi, tetap dan tidak berubah sebagaimana ia berada dalam pikiran Tuhan. Sari’ah adalah penentuan atau sumber jalan kebenaran dengan subjeknya  adalah Tuhan. Sementara Fikih adalah hukum manusia–ia adalah upaya manusia untuk mencapai dan memenuhi hukum abadi sebagaimana yang ada dalam benak Tuhan. Artinya, fikih  bukanlah kehendak Tuhan itu sendiri, karena ia adalah produk usaha manusia. Dengan demikian, fikih adalah tidak abadi, tidak ajeg, sehingga dapat berubah. Lihat Roibin, Sosiologi Hukum Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), 15 atau bandingkan dengan Abou El–Fadl, Selamatkan Islam..., 182
[18] Abou El–Fadl, Op–cit, 234–5
[19] Stephen Sulaiman Schwartz, Dua Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, (Jakarta: Kerjasama Blantika dengan libforal–The Wahid Institut–Center for Islamic Pluralsm, 2007), 378–380

[20] Ibid,
[21] Muhammad Husein Haikal, Pemerintahan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 47
[22] Ibid, 78–81. atau bandingkan dengan Muhamad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), 68
[23] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), 84
[24] Muhamad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), 43
[26]  Lihat Sumanto al–Qurtuby, “Fundamentalis Moderat di Timur Tengah” dalam Artikel http://www.islamlib.com.  Diakses tanggal 27 Mei 2010
[27]  Ibid
[28] Anthony Shadid , Legacy of the Prophet: Despots, Democrats, and the New Politics of Islam, ( 2002: 262). 

[29] Lihat Abou El–Fadl, Op–cit, 264–5
[30] Lihat Q. S. 9: 19; Q. S. 29: 6; 2: 218; Q. S. 8: 72, 74, 75; 9: 20; Q. S. 9: 88; Q. S. 49: 15; Q. S. 16: 110. dan masih banyak lagi di dalam Al–Qur’an.
[31] Abou El–Fadl, Op–cit, 266–7
[32] Lihat Q. S. 5: 8, 2; Q. S. 2: 190; Q. S. 5: 87; Q. S. 7: 55
[33] Lihat Q. S. al–Hajj (22): 39
[34] Stephen Sulaiman Schwartz, Opcit, 202
[35] Lihat Q. S. 2: 190; Q. S. 5: 87; Q. S. 7: 55
[36] Lihat Q. S. 2: 192–4
[37] Lihat Rajab Abu Malih “Resensi fiqh of Jihad” Yusuf Qardlawi dalam Citus Dakwatuna, diakses tanggal 20 Mei 2010