A. PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang ijma’ (konsesnsus) dalam percaturan hukum Islam sepertinya tidak pernah surut untuk dibincangkan, kapanpun dan dimanapun. Ijma’ selama berabad–abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: ”Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan”. Berpijak pada hadith inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberikan andil yang signifikan terhadap penafsirannya.[2]
Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma‘ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma‘ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma‘ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma‘ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf[3]
Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma‘ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma‘ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau Majelis Perwakilan Rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam.
B. PENGERTIAN IJMA’ KONTEMPORER
Ijma' (الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (أَجْمَعَ) yang memiliki dua makna:
1) Tekad yang kuat (العَزْمُ المُؤَكَّدُ) seperti: أَجَمَعَ فُلَانٌ عَلَى سَفَرٍ (sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).
2) Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ
Artinya: "kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula".[4]
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
1) Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan sikap.
2) Para Mujtahid (المُجْتَهِدُوْنَ). Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum.
3) Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan dakwah Nabi saw).
4) Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut ijma'.
5) Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6) Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at.[5]
C. KEDUDUKAN IJMA’ KONTEMPORER DI ERA GLOBAL
Gagasan ijma‘ yang agak luas dikemukakan al-Syafi‘i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma‘ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal.[6]
Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma‘ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma‘ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma‘ baru dan menggantikan ijma‘ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura.[7]
Pada level negara, ijma‘ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma‘. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukum yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma‘ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan.[8]
Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma‘ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri.
Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma‘ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma‘. Dengan kata lain, ijma‘ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya.[9]
Mekanisme ijma‘ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus.
Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wah{dah al-insa>niyyah al-‘ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wah{dah al-di>niyyah al-‘ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wah{dah al-di>niyyah al-kha>ssah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius.
Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim.
Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma‘ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali.
Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma‘ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma‘, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini.
Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma‘ untuk melaksanakannya.
D. HUKUM MENYALAHI IJMA'
Hukum bagi orang yang tidak mengakui atau menyalahi Ijma'> sebagai sebuah dalil terbagi dalam dua (2) golongan:
1) Orang yang mengingkari keh{ujjahan (dalil) Ijma'. Sebagian ulama' menganggap orang ini kafir. Pengarang Kasyful Asyror berkata: barang siapa yang mengingkari Ijma', maka berarti ia membatalkan seluruh agamanya. Karena poros Ushuluddin (dasar agama) dan sumber rujukannya adalah Ijma' kaum muslimin.[10]
Akan tetapi sabagaimana telah dimaklumi bahwa ushuluddin dan poros utamanya adalah pada Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan dilalah (dalil) nya menurut kebanyakan para ulama' atas dasar Ijma', baik zanni maupun qat'>, karena hal tersebut bukanlah sesuatu yang disepakati. Untuk itu orang yang mengingkari dalil Ijma' tidak dianggap kafir, akan tetapi hanya dianggap pelaku bid'ah atau fasiq.
2) Orang yang menyalahi suatu hukum yang ditetapkan atas dasar Ijma'. Hal ini memiliki tiga tingkatan:
a. Hukum yang telah diketahui secara pasti dalam agama. Semuanya telah menjadi Ijma' baik bagi orang awam maupun orang khusus (ulama'), seperti keesaan Allah swt, Rububiyah-Nya. Allah satu-satunya yang berhak diibadahi, kenabian Muhammad saw sebagai penutup para rasul. Nas-nas yang menunjukkan terjadinya hari qiyamat, hari pembalasan, hari kebangkitan, hari perhitungan, surga dan neraka, dasar-dasar shari'at dan ibadat seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Maka, tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengingkarinya adalah kufur.
b. Hukum yang ditetapkan oleh Ijma' qat'i, seprti haramnya mengawinkan seorang gadis dan bibinya sekaligus, haramnya berdusta kepada Rasulullah saw dan lain-lain. Maka orang yang mengingkarinya juga kufur. Karena, ia mengingkari hukum syar'i yang ditetapkan oleh dalil qat'i
c. Hukum yang ditetapkan oleh Ijma' zanni (seperti Ijma' Sukuti), maka orang yang mengingkarinya dianggap fasiq, ahlul bid'ah dan dia tidak kufur.
E. FAEDAH IJMA'
Para ulama' berbeda pendapat tentang faidah Ijma', apakah memberi faidah yang qat'i atau zanni. Dalam masalah ini ada tiga (3) pendapat yang kuat, yaitu:
1) Ijma' adalah hujjah qat'i. Al-Ashfahani berkata: inilah yang masyhur.
2) Ijma' tidak memberi faidah kecuali zanni saja, baik sandarannya bersifat qat'i atau zanni.
3) Ijma' yang disepakati oleh ulama' mu'tabar (diakui kualitas keilmuannya), maka dianggap qat’i sedangkan Ijma' yang tidak disepakati seperti Ijma' Sukuti yaitu Ijma' yang penetapannya tidak ditetapkan dengan tegas, maka dinilai zanni. Inilah pendapat yang tepat, sebagaimana yang dipilih oleh syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.[11]
[2] Hasbi As–Shiddiqie, Pengantar Ilmu Fikih, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1988, 73
[3] Taufiq Adnan Amal, ”Menilik Model Ijma’ Kontemporer” dalam http://islamlib.com/id/artikel/menilik-model-ijma-kontemporer/mal, (20 Agustus 2010)
[6] Lihat Al–Imam Muhammad Idris al–Shafi’i, Al–Risalah, Beirut: Dar al–Fikr, t. th., 360–380 atau lihat Al–Ghazali, Al–Mustashfa Min ‘Ilm al–Ushul, Beirut: Dal al–Kutub al–‘Ilmiyah, 2008.
[7] Taufiq Adnan Amal, ”Menilik Model Ijma’ Kontemporer” dalam http://islamlib.com/id/artikel/menilik-model-ijma-kontemporer/mal, (20 Agustus 2010)
[8] Untuk melihat berbagai pemikiran Fazlur Rahman termasuk dalam hal Ijma’ ini dapat dilihat pada Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 2000.
[9] Taufiq Adnan Amal, ”Menilik Model Ijma’ Kontemporer” dalam http://islamlib.com/id/artikel/menilik-model-ijma-kontemporer/mal, (20 Agustus 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar