A. PENDAHULUAN
Sejak dekade 70an wacana dan pemikiran untuk melaksanakan pembangunan ekonomi umat sudah mulai ramai dibicarakan dalam berbagai forum, baik dalam bentuk seminar, simposium, diskusi ilmiah, maupun lainnya.[2] Fenomena ini muncul karena sebagian ahli dan pakar ekonomi pembangunan mulai menyadari bahwa teori dan pendekatan pembangunan ekonomi yang ada diangap tidak dapat mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang adil, merata, dan seksama, sehingga wacana dan pemikiran ini harus terus digulirkan sampai dapat membuahkan hasil yang nyata guna mendobrak kebekuan ekonomi kapitalis.[3]
Memang menjadi keprihatinan tersendiri, negeri dengan mayoritas muslim ini larut dalam kerlap kapitalisme dalam membangun hari–harinya. Sistem ribawi dijadikan sebagai instrumen pasti dalam perekonomian. Ia dinobatkan sebagai dewa penyelamat dari keterpurukan bangsa. Dengan itu, sugesti sebagai bangsa besar mulai terbangun, meski sesungguhnya sedang melenggang di mulut buaya.[4] Kondisi ini terus berjalan dan merambah di tengah masyarakat, namun dengan kegigihan dan semangat mengobarkan keadilan ekonomi melalui perdebatan, baik di laga seminar, diskusi, maupun loka karya, pada akhirnya menelurkan cetak biru rekonstruksi bangunan ekonomi umat. Cetak biru inilah yang secara cerdas dan strategis diselipkan Amin Aziz untuk dibahas dalam Rapat Kerja Nasional MUI pada tanggal 17–20 Desember 1989. Sekalipun kurang mendapat perhatian, tetapi ini sebagai langkah awal menyibak kelam yang menyelimuti wajah perekonomian Indonesia. Akhirnya di tahun berikutnya 1990 ketika lokakarya MUI kembali digelar tanggal 18–20 Desember, baru membuahkan hasil dengan mengamanatkan pembentukan organisme syari’ah bebas bunga. Seperti diduga sebelumnya, jalan bukan semakin lapang, melainkan justru kian terjal dan mendaki. Sikap skeptis dari beberapa ekonom dan politisi mempertanyakan ide ini.[5]
Mensesneg Moerdiono saat itu yang paling getol mempersoalkan niat membentuk bank Islam ini. Sebagai ‘penjaga gerbang’ istana, Moerdiono banyak mengajukan pertanyaan berharga. Misalnya, kenapa untuk meningkatkan kualitas umat perlu mendirikan bank dengan system baru yang berpotensi menciptakan ‘maslah baru’ ? Apa sebenarnya filosofi dibelakang pendirian bank Islam: Apa betul untuk menghindarkan penganiayaan ? Lalu, bagaimana system tanpa bunga yang disebut bagi hasil itu bekerja ? Termasuk pertanyaan yang sangat menohok, perlukah MUI memiliki bank ? Bagaimana dengan pemodalnya ?[6]
Sekalipun banyak menuai kritik dari berbagai kalangan, tetapi akhirnya pada tanggal 1 November 1991. TIM dari MUI telah berhasil mewujudkan “Akte Pendirian PT. BMI”. dimana pada saat penandatanganan waktu itu, telah terkumpul komitmen pembelian saham sebesar Rp. 84 Miliar. Namun pada tahun tersebut BMI masih belum beroperasi, baru pada tahun 1992 BMI mulai operasional.[7]
Dengan lahirnya lembaga keuangan syari’ah yang dimulai oleh BMI ini, akhirnya mendorong di berbagai lembaga keuangan di Indonesia untuk mengoperasionalkan dengan sistem syari’ah, maka lahir baitul mal wa al–tamwil (BMT), asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah, dan lain sebagainya. Sebagai harapan, lahirnya lembaga keuangan dan jasa dengan sistem syari’ah ini, mampu memberikan kemajuan dalam pembangunan perekonomian umat Islam di Indonesia, namun ternyata sampai saat ini belum juga bisa membebaskan masyarakat muslim Indonesia terjerat dari lingkaran kemiskinan.
Tentu, yang menjadi masalah bukanlah sistem syari’ahnya melainkan harus dicari solusi untuk memberikan penguatan lembaga tersebut dari aset–aset yang nyata di tengah masyarakat, karena secara kelembagaan lembaga keungan syari’ah hingga saat ini menunjukkan semakin mapan dan menguat. Oleh karena itu, sebagai langkah strategis untuk membangun ekonomi umat adalah memberdayakan lembaga–lembaga Islam yang ada, dan yang paling memungkinkan saat ini guna mendukung lembaga keuangan syari’ah di Indonesia sebagai upaya pembangunan ekonomi umat adalah lembaga wakaf, karena berdasar amanat UU No 41/2004 wakaf diharapkan dapat dikembangkan dan diberdayakan demi kemaslahatan bersama, khususnya pemberdayaan wakaf uang.
B. WAKAF UANG DALAM PANDANGAN ULAMA’
Pembicaraan wakaf uang, sebenarnya telah menjadi perdebatan di kalangan fuqaha’, sekalipun tidak secara eksplisit dikaji secara khusus, namun wakaf uang masuk dalam ruang kajian wakaf benda beregerak. Sebagian berpendapat bahwa wakaf dalam bentuk uang/tunai itu adalah diperbolehkan, sementara pendapat yang lain mengatakan tidak diperbolehkan.
Mazdhab Hanafi[8] berpendapat bahwa wakaf uang adalah diperbolehkan sebagai pengecualian karena sudah banyak dilakukan masyarakat, hal demikian berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dengan redaksi kalimat sebagai berikut: ”Mâ raâhu al-muslimûna hasanan fahuwa ’indallâhi hasanin Wa ma RaAu Sayyian Fahua ’Indallahi Sayyiun”[9] (apa yang dipandang kaum muslimin itu baik, dipandang baik juga oleh Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun juga buru). Mazdhab ini berpendapat bahwa hukum yang diterapkan berdasarkan ’urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang diterapkan berdasarkan nas (teks). Adapun cara mewakafkan uang menurut imam al-Zuhri dari kalangan madzhab Hanafi adalah dengan cara menjadikan uang itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.[10]
Namun Ibnu Abidin berpendapat bahwa apabila tradisi masyarakat yang dijadikan sebagai alasan atas kebolehan wakaf uang sebagaimana wakaf dirham, maka sebenarnya wakaf dirham itu hanya menjadi kebiasaan di masyarakat Romawi, sementara di negara lain tidaklah menjadi tradisi di masyarakat. Oleh karena itu dia berpendapat bahwa wakaf uang yang tidak menjadi tradisi di suatu negara hukumnya adalah tidak sah. Sementara Kamal bin Hammam dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa ketidakbolehan mewakafkan harta bergerak seperti mata uang, dinar dan dirham, karena disebabkan mudah musnah sekalipun hal itu bermanfaat.[11]
Adapun dari kalangan Mazdhab Maliki,[12] belum membuat suatu ketentuan tentang standarisasi apa saja yang menjadikan wakaf harta bergerak itu sah atau tidak. Tetapi, mereka memiliki pendapat masing-masing dalam menentukan sah atau tidaknya wakaf harta bergerak itu. Yang jelas mereka semua sepakat bahwa hukum mewakafkan harta bergerak itu adalah sah apabila jelas bentuknya, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya mewakafkan harta bergerak yang tidak jelas bentuknya.
Al-Dardiri dari kalangan mereka menyatakan bawa dalam masalah boleh tidaknya wakaf harta bergerak ini, seperti makanan yang tidak tentu bentuknya dan bentuknya tidak tampak seperti uang, maka hal itu telah memunculkan keraguan pendapat. Dikatakan adanya keraguan itu karena bentuknya tidak jelas, tetapi apabila harta itu nyata dan jelas, tidak ada keraguan dan dipandang sah untuk diwakafkan.[13] Dengan demikian, mazhab Maliki tidak membedakan tentang bolehnya mewakafkan harta, baik harta bergerak maupun tidak bergerak.
Mazhab Syafi’i[14] dan Hanbali membolehkan wakaf harta benda bergerak seperti halnya harta tetap, karena yang menjadi dasar dalam wakaf adalah asas keabadian. Mazhab Syafi’i menjelaskan hukum sahnya wakaf harta bergerak dari dua landasan:
Pertama, kekekalan adalah standar utama dalam setiap bentuk, maka harta apa saja yang tidak kekal berarti kekekalannya adalah selama benda itu masih ada. Oleh karena itu wakaf akan berahir jika harta bergerak yang telah diwakafkan itu musnah.[15] Sebagai contoh Imam Syairazi [16] berpendapat boleh mewakafkan binatang ternak karena dapat dimanfaatkan selamanya. Kalimat untuk selamanya, menurut ulama’ Syafi’iyah adalah sesuatu yang nisbi (relatif). Keabadian segala sesuatu adalah sampai batas keberadaannya dapat dimanfaatkan. Sementara Syarbini al-Khatib menjelaskan bahwa ”kekekalannya itu cukup hingga dicabut setelah masa sewa habis atau kembalinya pemberi pinjaman.”[17]
Kedua, wakaf tidak berahir dengan musnahnya harta bergerak, tetapi harus digantikan dengan harta lainnya, dan penggantinya akan menempati posisi dari harta bergerak yang sudah musnah. Sekalipun pendapat dari mazhab Syafi’i dan Hanbali di atas cenderung membolehkan terhadap benda bergerak, tetapi al-Bakri mengemukakan bahwa pendapat mazhab Syafi’i tentang wakaf benda bergerak khususnya wakaf uang adalah tidak boleh, mengingat dirham dan dinar (uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada wujudnya.[18]
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa alasan boleh dan tidaknya mewakafkan mata uang berkisar pada apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan masih seperti semula, yakni terpelihara dan dapat menghasilkan lagi dalam masa lama atau tidak.
Oleh karena itu, menurut perhitungan dan perkiraan ekonomi bahwa wakaf uang dapat dilakukan dengan cara menjadikan sebagai modal usaha seperti dalam mazhab Hanafi. Cara ini memungkinkan uang (modal) terpelihara seperti dalam sebuah lembaga perbankan yang bonafide dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Untuk lebih amannya lagi harus ditopang oleh lembaga penjamin (asuransi syariah) sebagai upaya menghindari kegagalan usaha. Dengan demikian uang yang diwakafkan dapat digantinya, sehingga uangnya tetap masih ada dan tidak lenyap.
C. KONDISI EKONOMI UMAT ISLAM DI INDONESIA
Indonesia merupakan negara terbesar ke empat di dunia setelah negara Cina, India, dan Amerika dengan jumlah penduduk sekitar 234, 7 juta jiwa.[19] Dari jumlah penduduk yang besar tersebut adalah mayoritas umat Islam, bahkan umat Islam Indonesia adalah jumlah terbesar di dunia. Sekalipun umat Islam demikian besar, namun struktur ekonomi Indonesia sangatlah timpang (terjadi kesenjangan) karena basis ekonomi yang strategis masih dimonopoli oleh segelintir golongan (kalangan feodalis tradisional dan masyarakat modern kapitalis) yang tetap menerapkan sistem ekonomi ribawi. Sampai saat ini dua kelompok tersebut masih mewarnai tumbuh kembangnya lalu lintas perekonomian Indonesia.[20]
Kalangan feodalis tradisionalis menurut Junaidi merupakan kelompok yang mencengkramkan basis ekonominya di daerah pedesaan secara turun temurun, dengan menguasai sebagian besar tanah dan sawah. Pada dasarnya, timbulnya kelompok sosial ini berawal dari persaingan antar satu unit keluarga dengan unit keluarga lainnya, Siapa di antara mereka yang memiliki anggota keluarga lebih banyak dan lebih giat bekerja serta memiliki watak yang lebih nekat, dengan sendirinya akan memiliki kesempatan untuk dapat menguasai pihak lain dalam memperluas tanah pertanian dan lahan di sekitarnya, termasuk produk yang dihasilkan.
Sebaliknya, unit keluarga kecil yang kurang giat bekerja serta cenderung menerima seadanya, sudah barang tentu hanya akan memperoleh pendapatan hasil yang sedikit. Dan lambat laun unit keluarga yang kecil tersebut terus akan berada dalam keadaan seadanya, sehingga akan memaksa untuk melepaskan apa yang dimiliki dan bahkan dirinya sendiri akan menjadi pekerja untuk menggarap pertanian orang lain, karena untuk menutup kebutuhan hidupnya.
Gambaran di atas merupakan kenyataan sosial[21] yang terjadi di sebagian besar nusantara ini, sehingga apa yang disinyalir dengan ketimpangan sosial terus akan bermunculan. Sebagian orang terus membumbung ke atas dengan kekayaan pertanian yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru jatuh ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya. Bagi yang kuat dan tahan dengan nasib ini, akan menetap di pedesaan sebagai pekerja tuan–tuan tanah, demikian sebaliknya, yang tidak kuat cenderung hengkang dari pedesaan dan akan memilih urban ke perkotaan, sekalipun nasib belum tentu memihak kepada dirinya.
Sementara masyarakat modern kapitalis, selalu diuntungkan oleh sistem ekonomi uang di satu pihak dan lembaga perbankan dengan sistem ribawi di pihak lain. Dengan keperkasaan modal dan kekuatan manajemen modern, mereka mampu menciptakan ketergantungan modal dengan upaya mendatangkan untung berlipat ganda tanpa mempedulikan pihak yang merasa dirugikan. Dari keuntungan itu, sebagian untuk dibayarkan kembali ke bank bersama modal, dan sebagian lainnya untuk dimanfaatkan guna memperluas jaringan usahanya. Dalam hal ini, sudah barang tentu yang diuntungkan adalah orang yang lebih kuat Sumber Daya Manuisianya (SDM) dan modalnya. Sedangkan korbannya adalah mereka yang lemah dari segi SDM dan permodalannya.
Ketimpangan sosial yang disebabkan oleh sistem di atas adalah suatu kenaifan, karenanya harus dilakukan upaya perubahan sosial, yaitu proses yang dilalui oleh masyarakat sehingga menjadi berbeda dengan sebelumnya. menurut Zanden seperti yang dikutip oleh Roibin bahwa perubahan sosial pada dasarnya adalah perubahan–perubahan mendasar dalam pola budaya, struktur, dan prilaku sosial sepanjang tahun.[22] Kingley Davis dalam hal ini juga mengatakan hal yang sama, bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.[23]
Tidak terlalu gampang memang, untuk mengadakan suatu perubahan di Indonesia karena sangat kompleks persoalan yang terjadi. Masalahnya sekarang adalah, bagaimana dengan kaum d{u’afa (marginal) yang merupakan mayoritas masyarakat Indonesia dan kebetulan beragama Islam ? sampai saat ini, kondisi ekonominya hampir secara merata berada pada titik yang sangat minimal, kalau tidak mau dikatakn terpuruk dan mengenaskan. Asumsi bahwa hak ekonomi kaum d{u’afa telah ditunjang oleh kalangan feodalis tradisional dan masyarakat modern kapitalis, serta dampak pembangunan yang diperoleh dari hasil pungutan pajak usaha mereka, sejauh ini merupakan asumsi yang kurang dapat dipertanggung jawabkan dan kurang faktual.
Sebuah kenyataan bisa kita lihat, berapa banyak lapangan kerja yang tersedia di negeri ini dan berapa banyak pengangguran yang ada ?. Apalagi negara saat ini mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, lebih–lebih krisis kepercayaan terhadap para pemimpin yang memiliki legal police terhadap perekonomian bangsa. Sebagai contoh adalah kasus Century yang saat ini lagi hangat dibicarakan oleh pansus di DPR RI juga mengalami tekanan teror antar anggota pansus sendiri, sehingga belum juga menemukan titik terang yang jelas. Ini pasti akan berdampak pada sektor pembangunan ekonomi, dan pada gilirannya akan berdampak pada ekonomi umat yang mayoritas Islam ini.
Apalagi bila kita lihat realitas di tengah masyarakat, banyak ditemukan adanya penggusuran dan pembersihan pedagang kaki lima dengan dalih untuk pembangunan, tersingkirnya pedagang kecil (retail) oleh pesaing modal besar, seperti mini market yang muncul di mana–mana sampai di pedesaan, sementara pedagang kecil tidak dapat mengimbanginya karena kekurangan modal, sehingga banyak yang gulung tikar. Di pihak lain, munculnya perdagangan bebas yang mulai marak di negeri ini, sehingga produk dalam negeri semakin hari semakin tidak diminati oleh konsumen, akibatnya terjadi pengangguran para pekerja di mana–mana yang hampir boleh dikata semua itu sebagian besar adalah umat Islam.
Lalu apakah kita akan berdiam diri melihat kenyataan bahwa generasi umat Islam menjadi ‘gelandangan’ tetap setia mengulurkan tangan di tengah jalan dan bahkan akan menjadi pemerasan terus menerus dari sistem ekonomi kapitalis, tentu jawabannya adalah tidak, karena banyak sarana yang sebenarnya sudah disediakan dan dirasa mampu meminimalisir kesenjangan ekonomi umat, yaitu dengan memaksimalkan peran lembaga pemberdayaan ekonomi Islam seperti wakaf uang.
Di masa pertumbuhan ekonomi yang sungguh memprihatinkan ini, wakaf uang sesungguhnya memiliki potensi yang sangat besar guna membangun perekonomian umat Islam, disamping instrumen–instrumen lainnya. Jika wakaf uang itu dikelola dengan baik dan diberdayakan secara maksimal berdasarkan asas–asas profesionalitas, kejujuran, dan amanah, maka akan membawa dampak besar dalam pertumbuhan ekonomi umat Islam Indonesia di masa yang akan datang.
D. MODEL PEMBERDAYAAN WAKAF UANG
Pemberdayaan wakaf dalam bentuk uang ini sesungguhnya telah dikenal sejak dinasti Ut{maniyah dan Bani Mamluk.[24] Namun, pada perkembangan selanjutnya tidak terdengar lagi penerapan wakaf tunai di negara–negara Islam. Kini wakaf uang mulai didengungkan kembali di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, setelah negara Banglades berhasil menerapkan SWP (Sertifikat Wakaf Tunai) melalui lembaga sosial yang bernama Social Inverstment Bank Limited (SIBL). Dalam praktiknya Sertifikat Wakaf Tunai yang digagas oleh SIBL ini dimaksudkan sebagai instrumen pemberdayaan keluarga kaya dalam memupuk investasi sosial sekaligus mewujudkan kesejahteraan sosial.[25]
Wakaf Tunai (uang) memang membuka peluang yang unik bagi penciptaan investasi di berbagai bidang, baik bidang keagamaan, pendidikan, maupun pelayanan sosial. Uang memiliki tiga fungsi dalam peranannya, yaitu fungsi alat tukar (medium of exchange), fungsi satuan pembukuan (unit of account), dan fungsi penyimpanan nilai (store of value).[26] Atas dasar ini, wakaf uang mungkin bisa dikembangkan melalui fungsinya sebagai store of value. Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui penukaran Sertifikat Wakaf Tunai yang diterbitkan oleh Badan Wakaf Indonesia. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai tersebut dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda seperti pemeliharaan harta–harta wakaf itu sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat miskin, tetapi nilainya tidak boleh berkurang.
Lantas seperti apa pemberdayaan wakaf uang yang kita inginkan untuk masa yang akan datang, demi mengangkat harkat derajat umat Islam Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi ?. Berikut ini beberapa model pengembangan wakaf uang yang menurut hemat penulis dapat dilakukan, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Wakaf Investasi langsung, maksudnya adalah si wakif dapat mewakafkan uangnya kepada lembaga yang mengelola wakaf uang secara langsung dengan tujuan untuk kepentingan kemaslahatan umat. Dalam wakaf ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) wakaf investasi permanen, dan (2) wakaf investasi berjangka. Untuk investasi permanen, harta atau uangnya tidak dapat ditarik kembali oleh si wakif karena tujuannya semata–mata untuk masa depan (akhirat). Sementara investasi berjangka, uang yang diserahkan wakif hanya bersifat sementara. Jadi yang diwakafkan adalah hasil investasi yang dikelola atau dikembangkan saja. Dengan demikian, apabila waktu yang ditentukan sudah habis, maka uang dapat ditarik kembali oleh si wakif.
Dalam wakaf berbentuk investasi ini memang banyak mengandung resiko, tetapi tidaklah tepat investasi itu selalu berisiko negatif. Secara umum ada hubungan langsung antara tingkat resiko dan hasil investasi kita. Semakin tinggi resiko, semakin tinggi hasil investasi kita. Oleh karena itu, investasi dalam bentuk apapun juga akan menghadapi berbagai resiko. Yang penting wakaf uang dalam bentuk investasi ini, dana pokok tidak boleh habis untuk dijadikan sebagai usaha pengembangan, minimal harus ditahan 10 % dari dana yang yang wakafkan.
b. wakaf investasi saham, maksudnya adalah si wakif dapat ikut serta menyertakan modalnya pada suatu perseroan terbatas (PT) untuk suatu usaha, kemudian dari hasil keuntungan perusahaan tersebut dibagi dengan pemegang saham sesuai kesepakatan yang dibuat, dan sebagian lainnya dari keuntungan tersebut dijadikan sebagai dana wakaf si wakif guna kepentingan kemaslahatan umat.
c. wakaf investasi permodalan, yaitu wakaf yang dapat dilakukan oleh wakif untuk menitipkan modal bersama wakif yang lain guna pengembangan usaha mikro yang dikelola oleh UKM melalui lembaga keuangan syari’ah atas rekomendasi nazir. Wakaf dalam bentuk ini hanya bisa dilakukan oleh wakif yang benar–benar untuk mewakafkan hartanya tanpa ditarik kembali. Kemudian dari kumpulan permodalan ini akan digunakan membantu dalam kegiatan yang produktif bagi kelompok usaha menengah ke bawah. Kemudian dari hasil keuntungan pengusaha menengah tersebut dilakukan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan dengan pihak lembaga keuangan atas persetujuan nazir, untuk selanjutnya hasil dari dana wakaf tersebut dijadikan sebagai dana wakaf abadi, sehingga tidak menghilangkan makna wakaf yang berarti menahan, dan wakaf investasi lainnya yang bersifat produktif.
Tiga model di atas, menurut hemat penulis sebagai bentuk wakaf uang yang sangat memungkinkan diaplikasikan di tengah masyarakat. Meskipun demikian, pelaksanaannya harus ditangani secara profesional oleh ahlinya. Mengingat bentuk wakaf uang ini bisa dikatagorikan sebagai dana publik, maka harus ditangani pengelola yang sudah terbiasa mengelola keuangan.
Tidak berlebihan bila penulis mengatakan bahwa yang paling tepat untuk mengelola dana wakaf uang sementara ini adalah lembaga keuangan syariah, karena secara manajerial sudah teruji, baik dalam kaitan dengan kemampuan akses dengan calon wakif (nasabah), kemampuan mengelola dana investasi, kemampuan melakukan administrasi rekening, maupun kemampuan melakukan distribusi hasil investasi. Di samping itu, kredibilitasnya di mata masyarakat sudah mulai mendapat kepercayaan. Meskipun demikian, masyarakat terutama nazir harus tetap mengontrol perjalanan wakaf uang ini, agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaannya.
E. SIMPULAN
Berdasarkan pada kajian dan perhitungan, baik dari latar belakang, pandangan para ulama’, kondisi ekonomi umat Islam di Indonesia, maupun upaya pemikiran tentang pengembangan wakaf uang dengan segala bentuknya, dapat disimpulkan sebagai beriut:
Peretama, untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia, wakaf uang merupakan aset yang sangat potensial. Selama ini, program pengentasan kemiskinan masih bergantung pada bantuan kredit luar negeri, khususnya dari Bank Dunia. Dan dana ini juga jumlah sangat terbatas. Oleh karena itu, mencontoh negara–negara yang sudah berhasil memberlakukan sertifikat wakaf tunai adalah sebuah keniscayaan, seperti Negara Banglades, Turki, Qatar, Kuwait, dan lain–lainnya.
Kedua, untuk mengaplikasikan wakaf uang ini, hendaknya Badan Wakaf Indonesia menerbitkan sertifikat wakaf uang dengan nilai nominal yang tidak besar jumlahnya, setridaknya ada pecahan 10. 000 (sepuluh ribu). Hal ini dimakudkan untuk memberikan partisipasi umat Islam yang tidak memiliki harta yang besar, disamping untuk memperluas jangkauan yang lebih banyak, sehingga jumlah wakif akan lebih besar.
Ketiga, hal yang paling penting dalam melaksanakan wakaf uang ini adalah harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab, profesionalitas, jujur, amanah, dan transparansi, serta harus terus dilakukan konrol secara terus menerus oleh masyarakat lebih–lebih nazir yang diberi kewenangan untuk mengelola bersama dengan lembaga keuangan yang ditunjuk.
Semoga pemikiran sederhana ini, dapat bermanfaat dan sekaligus melengkapi gagasan dan pemikiran sebelumnya yang pernah dilakukan oleh para penulis tentang pengembangan wakaf uang di Indonesia. Akhirnya, kritik dan saran dari tulisan ini sangat kami harapkan untuk memperbaiki tulisan–tulisan yang akan datang.
Wallahu A’lam bi–al Shawab
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Muhadzhab, Mesir: Isa al-Babi al-Hulabi, tth
Abu al-Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqfi al-Nuqud, Beirut: Dar–Ibnu Hazm, tth.), h. 20-21.
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al– Makturīn min al Sahābat, Kairo” Dar al–Kutub, tt.
Ahmad Junaidi, et–al, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta: Dirjen Bimas Islam Depag R.I., 2006
Ahmad Junaidi, et–al, Menuju Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing, 2008
Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, Jilid III, Kairo: Isa Hulabi, tth
Al–Athqalani, Adab al-Syafi’i wa Manāqibuhû, jili I, Kairo: Dar al kutub, tth
Bernard Raho, SVD., Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007
Irsyad Lubis, “Prospek Ekonomki Harta Wakaf” dalam Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Jakarta: PPHIMM, 2009
Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid al-Siwasi, Fath al-Qadir, Mesir: Musthafa Muhammad, 1356
Muhammad Iqbal, Dinar Solution,Jakarta: Gema Insani, 2008
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, (alih bahasa Ahrul Sani Fathurrahman, cs), Hukum Wakaf Kajian Kontemporer pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Jakarta: Kuwais Mandiri Cahaya Persada, 2003
Muhammad Arafah al-Dasuki, Hasyiyah al-Dasuki ’ala Syarh al-Kabir, Jilid IV, Mesir: Muhammad Ali Shabih, 1934
Muhammad Syukri Salleh, Pembangunan Berteraskan Islam, etaling Jaya: Fakar Bakti Sdn. Bhd., 1987
M. A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai (Sebuah Inovasi InstruennKeuangan Islam), Jakarta: CIBER, 2001
M. Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2005
Pusat Jaringan Penelitian IAIN/STAIN se Indonesia, Pedoman Penyusunan Proposal Penelitian Berbagai Bidang Ilmu, Jakarta: Depag RI., 2003
Roibin, Sosiologi Hukum Islam (telaah sosio historis pemikiran Imam Syafi’i), Malang: UIN Malang Press, 2008
Riawan Amin, The Celestial Management, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2007
Syarbini al-Khatib, Mughni al-muhtaj Syarh al-Minhaj, Jilid III, Mesir: Mustafa al-Babi al-Hulabi, tth.
al–Syekh Imam Asnawi, Tabaqat al-Syafi’iyah, Jilid I, Dar–al Kutub, 1974
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Jilid X, Beirut: Dar al–Fikr, 1997
Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Umat di Dunia Islam, Bandung: Angkasa, 2003
[2] Muhammad Syukri Salleh, Pembangunan Berteraskan Islam, (Petaling Jaya: Fakar Bakti Sdn. Bhd., 1987), 43
[3] Irsyad Lubis, “Prospek Ekonomki Harta Wakaf” dalam Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, (Jakarta: PPHIMM, 2009), 94.
[4] Coba renungkan firman Allah dalam Q.S. 2: 275, “Orang–orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gi;a”.
[5] A. Riawan Amin, The Celestial Management, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2007), 44
[6] Ibid, 45
[7] Lihat Zaidi Abdad, Lembaga Perekonomian Umat di Dunia Islam, (Bandung: Angkasa, 2003), 33
[8] Mazhab Hanafi adalah mazhab yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah, nama lenhkapnya adalah al-Nu’man bin Tsabit bin Zauti Abu Hanifah al-Tamimi al-Kufi, dia adalah Imam besar, pemimpin para ahli fiqh, dan pimpinan sekolah rasional di zamannya. Dia salah satu imam mazhab empat yang memiliki pendapat yang kuat, baik ucapannya, mulia akhlaknya, dan tekenal sebagai seorang yang dermawan. Dia meninggal di bulan Rajab atau Sya’ban tahun 50 H, ada juga yang mengatakan tahun 150 H. Lihat tarjamah dalam Jawahir al-Muz{īfa, jilid I, hal 26; al-Nujum al-Z{ahirah, jilid 2, hal 12; T{abaqat Sya’rani, jilid I, hal. 45; Tahzhib al-Tahzhib, jilid X, hal. 499.
[9] Hadit{/at{ar ini berasal dari Abdullah bin Mas’ud r.a., Lihat Musnad Ahmad Ibn Hanbal dalam kitab Musnad al Makt{īrīn min al Sahābat, pada bab Musnad Abdullah bin Mas’ud, 3418
[10] Abu al-Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqfi al-Nuqud (Beirut: Dar Ibnu Hazm, tth.), h. 20-21. atau bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Jilid X, (Beirut: Dar al–Fikr, 1997), 7610
[11] Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid al-Siwasi, Fath al-Qadir (Mesir: Musthafa Muhammad, 1356), Jilid. V, h. 51
[12] Mazhab Maliki adalah mazhab yang dibawah oleh Imam Malik, ia mempunyai nama lengkap Malik bin Anas bin Ibn Amir bin Amru bin Gaiman Abu Abdullah al-Ashbahani al-Humairi. Dia pemimpin Darul Hijrah dan pemimpin orang-orang bertaqwa dan pembesar orang-orang yang berpendirian teguh. Malik adalah salah satu imam mazhab yang empat dan mujtahid. Dia lebih populer ketimbang yang digambarkan lewat tulisan, dan keutamaannya lebih banyak dari pada yang tercatat. Dia memiliki banyak karya/karangan, dan yang paling termasyhur adalah kitab ”Muwat{a’nya. Dia dilahirkan di Madinah tahun 93 H. lalu meninggal tahun 179 H. Lihat Biografinya dalam khulas{ah Tahzīb al-Kamāl, hal. 313; T{abaqat al-Suyut{i, hal. 89; al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jilid X, hal. 174.
[13] Lihat Muhammad Arafah al-Dasuki, Hasyiyah al-Dasuki ’ala Syarh al-Kabir, (Mesir: Muhammad Ali Shabih, 1934), Jilid IV, h. 77
[14] Mazhab Syafi’i adalah pengikut Imam Syafi’i, nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi ’i bin Saib bin Ubaid bin Yazid bin Hisyam bin Abdul Muththalib bin Abd al-Manaf bin Qushay al-Quraisyih. Dia tinggal di Mesir, dan memiliki silsilah atau keturunan sampai kepada Nabi Muhammad saw dari Abu Manaf. Syafi’i adalah salah satu imam mazhab empat dalam bidang fiqh, ia pemimpin para ahli fiqh pada zamannya. Syafi’i pernah menjadi murid Imam Malik ketika di Madinah, bahkan dia hafal muwatha’nya Imam Malik, sehingga dia dijuluki oleh Imam Malik sebagai orang yang cerdas dan kuat ingatannya, karena itu dia disegani dan dihormati oleh Malik. Lihat biografinya dalam kitab Adab al-Syafi’i wa Manāqibuhû karya Athqalani, jili I, hal. 24; T{abaqat al-Syafi’iyah, karangan Asnawi, Jilid I, hal. 11; atau lihat D{uha al-Islam karya Ahmad Amin dalam bahasan Imam Syafi’i.
[15] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, (alih bahasa Ahrul Sani Fathurrahman, cs), Hukum Wakaf Kajian Kontemporer pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, (Jakarta: Kuwais Mandiri Cahaya Persada, 203), 274
[16] Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Muhadzhab, (Mesir: Isa al-Babi al-Hulabi, tth), Jilid I, h. 440
[17] Lihat Muhammad Syarbini al-Khatib, Mughni al-muhtaj Syarh al-Minhaj, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Hulabi, tth.), Jilid III, h. 378
[18] Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, (Kairo: Isa Hulabi, tth), Jilid III, h. 157
[19] Menurut peringkat negara berdasar jumlah penduduk per 2007, negara Cina memiliki jumlah penduduk sebesar 1. 321, 9 juta jiwa, India sejumlah 1. 129, 9 juta jiwa, dan Amerika Serikat sejumlah 301, 1 juta jiwa. Sumber diambil dari data U. S. Census Bureau, International Data Base yang dikutip oleh Kantor BKKBN Pusat Jakarta tahun 2007
[20] Ahmad Junaidi, et–al, Menuju Wakaf Produktif, (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2008),
[21] Kenyataan sosial yang terjadi di tengah masyarakat seperti gambaran di atas, tentu sulit akan berakhir bilamana tidak ada upaya untuk melakukan rekonstruksi sosial, apalagi dalam teori tindakan yang berada di dalam paradigma sosial terlalu melebih–lebihkan individu sebagai aktor yang memiliki kemampuan untuk menentukan tindakan terlepas dari struktur di luarnya. Bahkan manusia memiliki kebebasan untuk merngekspresikan dirinya tanpa terkait dengan struktur di mana ia berada. Manusia memiliki subjectivitasnya sendiri, artinya ada arena subjectivitas pada diri sendiri ketika individu itu mengambil tindakan di dalam dunia sosial melalui kesadaranya. Untuk lebih jelasnya memahami teori sosial guna dijadikan sebagai alat pendobrak fenomena sosial di atas, dapat dilihat M. Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2005),35 atau lihat dengan Bernard Raho, SVD., Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), 47–70 Lihat
[22] Roibin, Sosiologi Hukum Islam (telaah sosio historis pemikiran Imam Syafi’i), (Malang: UIN Malang Press, 2008), 18
[23] Pusat Jaringan Penelitian IAIN/STAIN se Indonesia, Pedoman Penyusunan Proposal Penelitian Berbagai Bidang Ilmu, (Jakarta: Depag RI., 2003), 3
[24] Lihat M. A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai (Sebuah Inovasi InstruennKeuangan Islam), (Jakarta: CIBER, 2001), 36 atau bandingkan dengan Junaidi, cs, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Depag R.I., 2006), 126
[25] Ibid
[26] Muhammad Iqbal, Dinar Solution, (Jakarta: Gema Insani, 2008), 107
